Apa yang Dikatakan Alkitab Tentang Kepahitan?

oleh David Treybig - November 4, 2022

https://lifehopeandtruth.com/life/blog/what-does-the-bible-say-about-bitterness/

Ayat-ayat kutipan artikel ini diambil dari Alkitab versi: Indonesian Modern Bible, dan juga dari Indonesian Terjemahan Baru.

Apakah menjadi pahit itu merupakan masalah bagi orang Kristen? Sebaiknyakah anda konsen dengan kepahitan? Mari kita lihat contoh-contoh kepahitan di dalam Alkitah untuk jawabannya.

 

 

 

 

 

 

 

Beberapa tahun yang lalu, anggota-anggota jemaat yang saya gembalakan harus menyesuaikan diri terhadap perubahan dan mulai hidup dalam organisasi baru. Perpecahan yang terjadi di dalam gereja atas perbedaan doktrin sungguh sulit, dan anggota jemaat bergumul dengan perasaan sok dan dengan gejolak emosi sering muncul dalam situasi seperti itu.

Di tengah emosi yang tak menentu – yang juga berisi kemarahan, ketakutan dan patah semangat – seorang wanita muda yang bijak menceritakan kepada saya bagaimana dia menghadapi situasi itu. Dia berkata, “Saya tahu bahwa Elohim yang memegang kuasa, dan saya berdoa setiap hari bahwa saya tidak perlu dalam kepahitan [kemarahan].”

Pada saat itu saya salut sama dia atas karakter rohaninya yang dia tunjukkan. Dia tidak pernah merasa marah dalam hati dan hal itu merupakan teladan yang mengagumkan bagi kami semua.

Sejak itu, saya selalu belajar lebih banyak tentang kepahitan hati dan mengapa usaha untuk tidak marah dalam hati begitu penting untuk kesehatan kerohanian. 

Mari kita periksa beberapa ajaran Alkitab tentang kepahitan, dan kemudian kita fokuskan pada cara untuk mengatasinya.

Perjanjian Baru mengajarkan tentang kepahitan

Perkataan kepahitan [bitterness] terdapat di empat tempat di dalam Alkitab Perjanjian Baru versi New King James. Masing-masing ayat ini menambahkan pengertian kepada kita. Ayat-ayat bacaan ini terdapat di Kisah Para Rasul 8:23; Roma 3:14; Efesus 4:31; dan Ibrani 12:15.

Mari kita perhatikan masing-masing ayat bacaan ini.

Kepahitan Simon si tukang sihir

Tempat pertama kata “pahit” atau kepahitan terdapat di Kisah Para Rasul 8, dimana kita membaca tentang seorang laki-laki di Samaria yang bernama Simon yang telah melakukan sihir (ayat 9). Di dalam Alkitab English Standard Version “sorcery” [sihir] diterjemahkan “magic” [sulap] yang artinya “occult arts” [seni gaib].

Setelah percaya dengan pemberitaan Filipus, Simon memberi diri dibaptis (ayat 12-13). Kemudian rasul-rasul datang dari Yerusalem untuk menumpangkan tangan pada orang-orang yang baru percaya di sana agar menerima Roh Kudus (ayat 14-17). Ketika Simon melihat orang-orang menerima Roh Kudus melalui doa dan penumpangan tangan rasul-rasul itu, dia (Simon) mencoba menawarkan uang untuk membeli kuasa Roh Kudus itu.

Petrus menolak permintaan Simon itu dan berkata kepada dia, “Tidak ada bagian atau hakmu dalam perkara ini, karena hatimu tidak lurus di hadapan Elohim. Jadi, bertobatlah dari kejahatanmu dan berdoalah kepada TUHAN, supaya Dia melepaskanmu dari niat hatimu itu. Sebab, aku melihat hatimu seperti empedu yang pahit dan dibelenggu ketidakbenaran” (ayat 21-23).

Bahasa Yunani yang menerjemahkan “bitterness” [kepahitan] ialah pikria, yang berarti “kepahitan … kepahitan rohani dan bahasa, kelaliman” (Mounce’s Concise Greek-English Dictionary).

Dalam situasi ini, kerohanian Simon sepertinya sudah diracuni oleh iri hati bahwa rasul-rasul itu memiliki kuasa yang dia tidak miliki. Hatinya tidak benar di hadapan Elohim. Irihati ini meruntuhkan kepercayaan awal yang dia terima ketika dia mendengar pemberitaan injil dan melihat keajaiban itu (ayat 12-13). 

Apa yang dimaksudkan dengan kepahitan di dalam Alkitab?

Kepahitan adalah emosi beracun yang bisa membawa orang kepada kemarahan terpendam yang dapat menghancurkan hubungan mereka dengan orang lain. Kepahitan adalah pemikiran rohani yang tidak sehat dan pikiran yang mengeraskan hati. Pemikiran ini adalah suatu racun yang dapat merusak kesehatan rohani. Jika dibiarkan dan tidak diatasi, racun ini bisa menghambat pertumbuhan dan kedewasaan rohani. Itu biasanya terjadi ketika seseorang merasa diperlakukan tidak adil atau dia merasa terabaikan.

Kepahitan hati adalah emosi beracun yang dapat membawa orang kepada kemarahan terpendam dan menghancurkan hubungan mereka dengan orang lain.

Kepahitan merembes ke dalam komunikasi

Bacaan berikutnya dimana terdapat kepahitan di Perjanjian Baru ialah di Roma 3:14, Di sini, Paulus sedang merujuk ke bacaan-bacaan Perjanjian Lama yang mendeskripsikan orang-orang berdosa yang tidak bertobat. Praktek-praktek yang dilakukan orang-orang ini di antaranya merupakan deskripsi dari: “Yang mulutnya penuh kutukan dan kepahitan.”

Mengapa orang-orang ini mengekspresikan kepahitan? Karena bicara mereka mencerminkan racun yang ada di dalam pikiran mereka tentang kebenaran Elohim. Dengan merujuk pada prinsip ini, Yesus berkata, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matius 12:34).

Peringatan untuk membuang kepahitan

Karena efek serius akibat kepahitan yang destruktif, Paulus memperingatkan: “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan” (Efesus 4:31).

Ketiga bacaan di Perjanjian Baru ini cukup memberikan informasi bagi kita untuk memahami bahwa segala kepahitan, segala pikiran rohani yang tidak sehat, sangatlah merusak dan oleh karena itu kita harus menghindarinya.

Bagaimana kepahitan itu berkembang?

Ada satu lagi bacaan di dalam Perjanjian Baru yang menambahkan kepada pemahaman kita tentang kepahitan. Bacaan ini menggambarkan bagaimana kepahitan itu dapat berkembang.

Pemahaman ayat Suci Alkitab ini dituliskan berikutnya setelah Ibrani 11 – semuanya tentang teladan iman yang kuat. Ibrani 12:1 menasihati kita, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita” (Ibrani 12:1).

Kepahitan juga dapat dengan mudah berkembang di dalam kehidupan kita ketika merasa bahwa kita telah diremehkan, diabaikan atau diperlakukan tidak adil. Dalam nasihat ini termasuk bagaimana untuk berhasil bertanding dalam perlombaan iman, kita diperintahkan untuk memperhatikan “supaya jangan ada di antara kamu yang gagal dalam anugerah Elohim, supaya tidak tumbuh akar pahit yang akan menyulitkanmu dan mencemari banyak orang” (ayat 15).

Teks bacaan itu kemudian merujuk kepada Esau sebagai contoh bagi orang yang membiarkan akar kepahitan berawal di dalam pikiran. Bacaan ini menjelaskan: “Jangan ada seorang pun yang menjadi sundal atau yang tidak menghargai hal-hal rohani seperti Esau, yang telah menjual hak kesulungannya demi sepiring makanan. Kamu tahu, ketika kemudian ia ingin mewarisi berkat kesulungannya, ia ditolak karena tidak punya kesempatan untuk bertobat sekalipun ia mencarinya dengan cucuran air mata” (ayat 16-17).

Esau membiarkan timbul kepahitan yang hebat terhadap saudaranya, dia mengancam membunuh dia, karena dia telah kehilangan berkat kesulungannya (Kejadian 27:41-42). Dia bahkan menangis dengan mencucurkan airmata atas kehilangannya itu, tetapi nampaknya dia tidak pernah memikirkan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang salah yang mengakibatkan kehilangannya itu. 

Kepahitan dapat juga dengan mudah berkembang di dalam kehidupan kita ketika kita percaya bahwa kita diremehkan, diabaikan atau diperlakukan tidak adil. 

Arti akar kepahitan

Ucapan root of bitterness [akar kepahitan] di dalam Ibrani 12:15 nampaknya menjadi suatu referensi terhadap ayat bacaan yang terdapat di Ulangan yang mengingatkan orang Israel zaman dulu untuk tidak meninggalkan Elohim dan berpaling kepada penyembahan berhala.

Peringatan itu berbunyi sbb: “Supaya jangan ada di antaramu pria atau wanita atau keluarga atau suku yang hatinya berpaling dari YAHWEH, Elohim kita, pada hari ini untuk pergi dan beribadah kepada ilah-ilah bangsa-bangsa itu, janganlah ada di antara kamu akar yang menghasilkan racun dan kepahitan” (Ulangan 29:18).

Kepahitan yang tidak dikekang sering tidak hanya berdampak pada orang yang memilikinya. Tetapi itu mudah merembes kemana-mana. Dalam ayat di atas, penyembahan berhala diibaratkan seperti sebuah pohon yang memberikan buah beracun. Sebagaimana kita baca dalam ayat di atas, kita melihat bahwa masalahnya terletak pada akarnya yang kemudian bertumbuh dan mempengaruhi anak-anaknya dan orang Israel lainnya juga, sehingga akhirnya seluruh bangsa itu akan dihukum.

Intinya adalah bahwa kepahitan yang tidak dikekang (racun rohani) sering tidak terbatas hanya kepada orang yang memilikinya. Itu mudah merembes kemana-mana. Kepahitan seseorang dapat merembes kepada anggota keluarganya dan semua orang yang berhubungan dengan dia (jika mereka membiarkan diri dipengaruhi).

Sekarang karena kita sudah memahami bahaya pembiaran akar kepahitan berkembang di dalam pikiran kita, mari kita lihat beberapa langkah di dalam Alkitab untuk mengatasinya.

Kunci Alkitab untuk mengatasi kepahitan

Kepahitan dapat kita temukan di dalam gejolak emosi yang berbeda-beda. Itu dapat muncul melalui iri hati, kemarahan, dendam dan keinginan membalas dendam. Itu juga dapat terjadi melalui sikap mengeraskan hati, tidak mau berubah sikap bahkan ketika perlunya harus berubah.

Berikut ini beberapa kunci yang diberikan Firman Tuhan jika kita mau mengatasi kepahitan – yakni pikiran yang melemahkan rohani ini.

1. Kenali bahwa emosi kita dapat membawa kita nyasar kemana-mana

Kita perlu memahami bahwa perasaan kita bukanlah satu-satunya dasar untuk menentukan fakta, cerita sepenuhnya dan kebenaran. Banyak orang keliru menilainya dan mengira bahwa apa saja yang mereka rasakan selalu benar dan percaya bahwa mereka sebaiknya terima begitu saja emosi mereka, apa pun bentuk emosi itu. Alkitab mengajarkan bahwa pikiran kita dapat menipu kita dan bahwa kita harus berhati-hati untuk meyakini pikiran kita begitu saja (Yeremia 17:9; Amsal 14:12; Roma 8:7).

Jika kita ingin mengatasi kepahitan, kita tidak punya alasan dan membenarkan diri akan kepahitan itu sebagai sesuatu yang dapat diterima. Sebaliknya, kita perlu memikirkan bagaimana mengendalikan dan menuntun emosi kita ke arah sikap yang benar. Kita dapat memilih untuk tidak menjadi pahit.

2. Pilihlah kerendahan hati dan bukan kepahitan

Amsal 3:34 mengajarkan kita bahwa Elohim memberikan kasih karunia kepada orang-orang yang rendah hati. Memilih kerendahan hati tidak selalu mudah untuk kita lakukan. Tetapi inilah yang harus kita perjuangkan sebagai orang Kristen. Konsep ini dikutip baik Yakobus maupun Petrus (Yakobus 4:6; 1 Petrus 5:5).

3. Apabila anda menjadi marah, kendalikan dan padamkan kemarahanmu itu

Semua kita bergumul mengatasi kemarahan dari waktu ke waktu. Bagaimana pun juga kita ini adalah manusia yang bersifat manusiawi. Kita semua melakukan kesalahan dan kadang-kadang memperlakukan orang lain tidak adil. Ketika kita menjadi marah, Efesus 4:26-27 memberikan kita tiga hal penting yang harus kita ingat: jangan berdosa, padamkan amarah sebelum matahari terbenam, jangan beri kesempatan kepada Iblis untuk menguasai amarahmu.

4. Perhatikan kebutuhan orang lain dan berusaha untuk menolong mereka

Orang yang sedang mengalami kepahitan cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Ketika kita berdoa untuk orang lain yang memerlukan pertolongan kita sebaiknya menolong mereka jika kita mampu, kita menempatkan masalah kita ke dalam perspektif. Di dalam Filipi 2:4 Paulus menasihatkan kita: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” Ketika kita menolong orang lain, kita menolong diri kita sendiri sebab kita dapat melihat keadaan kita sendiri secara lebih realistis.

5. Mintalah Elohim hati yang tulus dan mintalah Dia menolong anda untuk mengampuni orang lain

Mengampuni orang lain merupakan syarat mutlak jika kita menginginkan pengampunan Elohim (Matius 6:12, 14-15). Memaafkan orang lain berkaitan erat dengan konsep memiliki hati yang tulus dan bersih. Dalam doa pertobatannya, Raja Daud meminta kepada Elohim, “Jadikanlah hatiku tahir ya Elohim, perbaruilah dengan roh yang teguh di dalam diriku” (Mazmur 51:12). Memaafkan orang lain dan memiliki hati yang tulus dan bersih terhadap Elohim adalah penangkal yang efektif terhadap kepahitan.

6. Taati perintah Elohim untuk bisa sabar dengan orang lain

Ketika hati kita terluka dan mencoba keluar dari situasi yang sulit, maka sangat mudah kita untuk merasa marah dalam hati dan kecewa kepada orang lain. Meskipun kita berada dalam situasi yang sulit, kita harus berusaha untuk hidup menurut nasihat Alkitab yang diteruskan Paulus sbb: “Sabarlah satu sama lain, dan saling mengampuni, seperti Kristus telah mengampuni kamu” (Kolose 3:13).

7. Tunjukkan kasih kepada orang lain

Lebih jauh Paulus menambahkan: “Dan di atas semuanya itu, kenakanlah kasih sebagai pengikat kesatuan yang sempurna” (ayat 14). Ketika kita mengasihi orang lain dengan tulus melalui kebaikan dan perbuatan baik, kepahitan cenderung akan menghilang.

8. Hendaklah damai sejahtera Elohim memerintah di dalam hati dan pikiranmu dan tetap bersyukur

Ketika kita berusaha untuk mengalahkan kepahitan, ada pergumulan di dalam hati dan pikiran kita antara damai dan kepahitan. Karena kita memiliki kekuatan untuk memilih perasaan yang mana yang harus menang, kita harus memilih damai sejahtera (ayat 15). Meskipun bacaan ini nampaknya disimpulkan dalam ayat 15 dengan renungan, “dan bersyukurlah,” pengucapan syukur selalu menjadi alat yang kuat untuk mempertahankan damai sejahtera sebagai emosi yang paling mendominasi untuk menguasai pikiran.

Yesus Kristus: teladan yang sempurna untuk mencegah kepahitan

Seperti apa ciri orang yang tidak pahit? Kadang-kadang hal itu menolong kita untuk membayangkan terlebih dahulu bagaimana kita merespons terhadap situasi ketika kita berada pada situasi yang bermuatan emosi yang bisa mengarah kepada kepahitan.

Orang yang sebaiknya kita teladani pada situasi tersebut ialah Yesus Kristus.

Pada saat Yesus berada pada pencobaan yang paling tak terbayangkan sakitnya – yakni detik-detik yang Dia alami pada saat Dia disalibkan – Yesus tidak “pahit” terhadap apa yang diperbuat mereka kepada Dia. Dia tidak menjadi benci atau dendam terhadap ketidakadilan yang ditimpakan kepada Dia. Dia tidak menjadi “pahit.”

Pada saat Dia disalibkan, Yesus berdoa, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Daripada menjadi pahit akibat terluka dan diperlakukan kasar/kejam, Yesus mengetahui bahwa mereka yang melakukan kekejaman itu bertindak di luar kesadaran mereka. Sebuah pelajaran bagi kita bahwa jika kita ingin menghindari kepahitan, kita harus menjadi seperti Kristus dan memilih untuk tidak kecewa dan marah ketika kita menganggap bahwa orang itu bertindak di luar kesadarannya dan dia benar-benar tidak memahami apa yang dia sedang perbuat terhadap anda.

Nampaknya bahwa Stefanus, ketika dia dilempari dengan batu hingga dia mati, dia mengikuti teladan Kristus yang meminta Elohim untuk tidak membalaskan dosa orang-orang penganiaya itu kepada mereka (Kisah Para Rasul 7:60). 

Hindari kepahitan tanpa mempersoalkan apa yang dilakukan (atau yang tidak dilakuan) orang lain terhadap anda

Tetapi bagaimana jika orang tidak menyadari perbuatan mereka? Atau bagaimana jika mereka sadar akan penderitaan yang mereka sebabkan terhadap anda atau orang lain?

Dalam keadaan ini, kita dapat mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita bukanlah hakimnya. Elohim akan menjadi Hakim satu-satunya untuk menghakimi mereka. Dan dalam gambaran yang lebih besar, kita masih harus memilih entah kita akan mengalami kepahitan atau entah kita membiarkan damai sejahtera Elohim bekerja di dalam hati kita.

Dengan sengaja memilih hidup damai dan mengampuni orang lain merupakan kunci alkitabiah yang terpenting untuk menghindari kepahitan. 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry