Bagaimana Menjadi Seorang Tetangga yang Baik
Posted on January 6, 2016
oleh Todd Carey
http://lifehopeandtruth.com/relationships/friendship/how-to-be-a-good-neighbor/
Kita semua menginginkan tetangga yang baik, namun sulit bagi kita untuk memahami bagaimana menjadi seorang tetangga yang diinginkan oleh sesama kita. Apa yang membuat seseorang menjadi tetangga yang baik? Bagaimana kita menjadi seorang individu yang lebih baik?
Apa yang dimaksudkan dengan menjadi seorang “tetangga yang murah hati”? Sebuah perusahaan asuransi besar memiliki satu slogan: “Like a good neighbor” [Seperti seorang tetangga yang murah hati]. Pesan yang ingin disampaikan oleh perusahaan ini ialah bahwa anda dapat mengandalkan pelayanannya pada saat memerlukan pertolongan, sama seperti anda mengandalkan bantuan seorang tetangga yang ramah dan murah hati.
Ramah dan murah hati
Sekarang ini banyak orang, terutama mereka yang bertumbuh seiring dengan munculnya Facebook dan Twitter, telah menciptakan begitu banyak hubungan dengan orang-orang di seluruh dunia. Tetapi alhasil, berapa banyak teman mereka yang sesungguhnya? Sahabat dan persahabatan memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Memiliki sifat ramah dan murah hati juga memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Jadi intinya ialah terletak pada permasalahan bagaimana menjadi seorang pribadi yang baik.
Di dalam sebuah artikel yang berjudul “Being Neighborly Without Being Nosy” [Bersikap Ramah dan Murah Hati Tanpa Ingin Mencampuri Urusan Orang Lain], Rose Alexander menjelaskan sebagai berikut: “Tergantung pada pilihan anda pribadi, bersikap ramah tidak perlu terlihat kecuali jika anda keluar rumah dan memberi lambaian tangan sembari menyapa seseorang. Atau barangkali anda menganggap seseorang yang ramah dan murah hati itu adalah sesama manusia ketika dia senantiasa siap menolong anda untuk hal-hal yang sifatnya tidak terduga, entah itu meminjamkan sesuatu yang anda butuhkan atau mengantarkan anak anda ke lapangan sepak bola untuk latihan pada saat mobil anda sedang mogok.”
Anda ingin menjadi seorang pribadi yang bagaimana? Jika anda ingin menjadi seorang pribadi yang baik, apa yang diperlukan?
Barangkali kita harus memulainya dengan menguji kepribadian kita sendiri. Apakah kita seorang yang tertutup atau terbuka? Apakah kita seorang yang pemalu atau yang retorik, yakni yang pandai berbicara? Hal ini akan memainkan peran penting dalam jenis kepribadian yang seperti apa kita ini. Tetapi hal berikutnya yang perlu kita ingat ialah bahwa tidak semua orang di antara sesama kita yang sama seperti kita, dan berarti bahwa kita perlu mengenal orang-orang di sekitar kita.
Hal ini bisa kita mulai bahkan sebelum kita pindah ke tempat yang baru. Kita terlebih dahulu mencari berbagai informasi tentang tempat dan tetangga yang baru. Apabila kita mempunyai anak, kita barangkali memeriksa terlebih dahulu sekolah yang mereka akan masuki. Semua usaha ini bukan saja akan menolong dan mempermudah kita untuk mengenal tetangga baru kita, tetapi juga akan menyingkapkan minat atau ketertarikan kita terhadap mereka yang telah tinggal di sekitar itu.
Belajar untuk mengenal sesama kita yang ada di sekitar kita dapat menolong kita menjadi seorang individu yang lebih baik.
Tetapi sebelumnya, mari kita mendefinisikan siapa sesama kita. Bagaimana dengan orang yang tinggal jauh di luar tetangga kita? Apakah kita memiliki tanggung jawab untuk ramah dan murah hati kepada mereka yang tinggal di seberang jalan atau di lain tempat atau kota? Dahulu kala, seseorang mengajukan pertanyaan ini kepada Guru Besar yang pernah hidup di bumi ini.
Siapa itu sesamaku?
Barangkali anda akan kaget bahwa Alkitab banyak membicarakan tentang sesama manusia. Pada kenyataannya, Yesus memaparkan seluruh perumpamaanNya itu untuk menunjukkan betapa penting bersikap baik dan ramah; dan bukan hanya itu, Dia juga menunjukkan bagaimana seorang pribadi yang baik bisa memahami hal-hal untuk memperoleh hidup kekal!
Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus Kristus apa yang dia perlu lakukan untuk menerima hidup yang kekal.
Yesus, yang mengetahui bahwa kewajiban ahli Taurat ialah untuk memahami hukum Allah, menjawabnya dengan mengajukan balik dua pertanyaan.
“Jawab Yesus kepadanya, ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?’ Jawab orang itu, ‘Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’” (Lukas 10:26-27).
Ahli Taurat itu merespon dengan benar, dan Yesus menasihatkan dia untuk berbuat demikian (ayat 28). Akan tetapi ahli Taurat itu, yang berusaha membenarkan dirinya, bertanya, “Siapakah sesamaku manusia?” (ayat 29).
Dalam kesempatan itu Yesus menjelaskan isi pertanyaan orang itu dengan menggunakan sebuah perumpamaan. Untuk memahami perumpamaan itu akan lebih jelas apabila kita melihat sedikit latar belakang situasinya di saat itu. Menurut Albert Barnes’ Notes on the New Testament, tentang Lukas 10:29, orang-orang Farisi mengikuti tradisi yang mengajarkan bahwa hanya orang-orang di kalangan mereka sendiri yang saling wajib bermurah hati dan ramah satu sama lain. Barnes menuliskan, “Orang-orang Farisi berpegang prinsip bahwa hanya orang ‘Yahudi’ yang dianggap sesama manusia, dan bukan dengan bangsa-bangsa yang non-Yahudi.”
Menjadi sesama yang baik menyangkut kasih
Perumpamaan orang Samaria yang murah hati (ayat 30-37), menyingkapkan jawaban bagi pertanyaan ahli Taurat itu – “siapakah sesamaku”? Perumpamaan itu menceritakan kisah seorang yang dirampok, dilukai dan dibiarkan terlantar di pinggir jalan.
Orang pertama dan kedua yang melewati dan melihat orang yang dirampok itu mungkin merasa iba dan dalam hatinya menginginkan dia sembuh dari lukanya, tetapi mereka tidak punya waktu untuk langsung berbuat dan menolong dia. Lebih sedih lagi bahwa mereka itu adalah orang Lewi dan imam – orang yang seharusnya memberikan contoh tentang bagaimana menjadi sesama manusia yang baik.
Akan tetapi, ketika orang Samaria (yakni orang-orang yang dipandang rendah oleh masyarakat Yahudi) lewat dan melihat orang yang dirampok itu pingsan di jalan, dia tidak hanya kasihan melihatnya, tetapi dia juga merasa sedih – dan dengan perasaan sedih dan iba ia melakukan sesuatu untuk menolongnya. Setelah membersihkan luka-lukanya, dia kemudian membawanya ke penginapan dan minta seseorang untuk merawatnya sebaik mungkin. Dia bayar semua biayanya dan dia rela membayar lebih lagi bila perlu.
Di dalam kisah ini, kita tidak melihat sikap orang Samaria itu seperti sikap orang Yahudi itu. Orang Samaria itu tidak mempersoalkan identitas, suku dan ras atau kebangsaannya terhadap orang yang dirampok itu. Aksi menolongnya tidak digambarkan sebagai balas budi dari perbuatan baik yang telah dilakukan oleh si korban itu kepada orang Samaria. Bacaan ini juga tidak mengimplikasikan bahwa orang Samaria itu berharap agar perbuatan baiknya akan memberi harapan akan pandangan terhadap masyarakatnya – yakni merubah pandangan atau pendapat orang-orang Yahudi yang menganggap remeh terhadap orang Samaria. Aksi menolong yang dia lakukan itu hanya semata-mata untuk memperlakukan orang yang menderita sama seperti dirinya sendiri.
Kita yakin bahwa ahli Taurat itu sedikit merasa tidak nyaman, terutama ketika Yesus bertanya kepada dia untuk mengatakan yang mana di antara ketiga orang tadi yang merupakan sesama manusia yang menolong orang terluka itu. “Dan dia menjawab, ‘Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya’” (Lukas 10:37).
Ahli Taurat itu menjawabnya dengan benar, tetapi kali ini ia mungkin merasa sedikit lebih menyesal. Yesus berkata kepada dia, “Pergilah, dan perbuatlah demikian.”
Kita mungkin penasaran, tipe orang seperti apa ahli Taurat ini setelah menerima koreksi Yesus yang lemah lembut itu?
Kita kembali ke zaman sekarang
Sekarang mari kita bicara tentang hal ini pada situasi di zaman sekarang. Jika kita ingin mejadi sesama manusia yang baik, kita harus mencari kenyamanan yang seimbang dengan sesama kita, kenyamanan yang aman dan damai. Bagian dari keseimbangan ini adalah belajar tentang sebagian dari tradisi tetangga kita atau tradisi yang berlaku di daerah itu. Di beberapa bagian di dunia ini ada kebiasaan untuk membawa makanan yang disiapkan khusus untuk orang-orang pendatang baru atau seseorang yang baru saja ditimpa kemalangan. Kesempatan semacam ini menolong kita untuk menanam bibit percakapan yang akan dapat berkembang menjadi rasa hormat, kekaguman dan bahkan persahabatan terhadap satu sama lain.
Menjadi seorang yang baik pada masa-masa senang sering berjalan lebih mulus daripada masa-masa krisis atau di saat bencana terjadi. Ketika krisis sungguh terjadi, meminta atau memberikan pertolongan akan jauh lebih mudah apabila hubungan telah dibangun baik.
Kaidah Kencana dan pribadi sesama manusia
Ketika kita sungguh-sungguh tidak yakin bagaimana berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita, kita dapat memutar balik situasinya. Dalam hal memberi pemberian yang baik, Yesus berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Ayat ini biasa disebut sebagai Golden Rule [Kaidah Kencana].
Teman sesama manusia yang baik adalah orang yang senantiasa siap sedia bagi orang-orang di sekitarnya. Allah tidak main-main menggunakan istilah ini, Dia juga tidak membatasi ruang hanya untuk komunitas atau kelompok tertentu. Seseorang yang dikatakan ramah dan murah hati adalah orang yang menolong dan melayani sesama manusia baik pada waktu suka maupun duka.
Raja Salomo menasihatkan kita, “Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: ‘Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,’ sedangkan yang diminta ada padamu. Janganlah merencanakan kejahatan terhadap sesamamu, sedangkan tanpa curiga ia tinggal bersama-sama dengan engkau’” (Amsal 3:28-29). Perkataan tanpa curiga di sini termasuk mencari kebaikan untuk orang lain yang ada di sekitar kita sementara kita menghargai privasi mereka dan harta benda mereka.
Barangkali kebaikan ini dimulai dari hal kecil seperti memberi gula kepada tetangga kita, akan tetapi kebaikan kecil pun akan dapat membawa dampak yang lebih besar lagi. Rasul Paulus menuliskan, “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:9-10).
Meskipun orang-orang yang ada di sekitar kita tidak memahami atau tidak menghargai nilai apa arti sesama manusia yang ramah dan murah hati, kita tentu bisa.
Untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana menciptakan persahabatan dan menjadi sesama manusia yang baik; silakan membaca artikel kami yang berjudul “Bagaimana Menciptakan Persahabatan.”
Apakah anda mempunyai pertanyaan?
Ajukanlah kepada kami.
This article was translated from http://lifehopeandtruth.com