Celakanya Mendengarkan Suara Hati

Apakah anda mempercayai diri anda untuk membuat keputusan, atau apakah anda menyesali keputusan anda di kemudian hari? Bagaimana kita membuat keputusan yang lebih baik?

oleh Debbie Pierce

https://lifehopeandtruth.com/relationships/marriage/the-trouble-with-listening-to-your-heart/

Mandy* duduk di hadapan saya, sekepal tisu di tangannya. Dia terus menangis selama beberapa menit itu sembari menceritakan bagaimana suaminya, yang baru enam bulan dalam pernikahan mereka, telah marah-marah dan menghancurkan bingkai foto yang ada di dinding dan merusak truk pick-up nya dengan palu.

Anak gadisnya yang pertama, yang saat itu ada di rumah, telah bercerita kepada saya betapa dia ngeri dengan perlakuan ayah tirinya.    

Ini bukan pertama kali Ray* beringas seperti itu.  Sebab Mandy pernah menceritakan kepada saya beberapa kali pada kesempatan yang berbeda bahwa Ray adalah orang yang temperamen. Sementara dia masih menangis atas luka hati dan amarahnya atas kejadian ini, saya mengingat satu percakapan dengan Mandy sebulan sebelum pernikahan mereka, yakni setelah saya bertemu dengan Ray. Di depan mata saya  amarah Ray meledak terhadap Mandy. Saya merasa prihatin terhadap Mandy untuk menikah dengan dia, dan Mandy juga mencetuskan keprihatinannya kepada saya.  

Namun apa daya dia memutuskan untuk menikah dengan dia.     

Dengarkan suara hati anda?

Sayangnya, kisah Mandy ini umum terjadi. Banyak orang menghadapi pergumulan akibat keputusan yang mereka buat, terutama keputusan yang berdampak pada hubungan. Pengambilan keputusan bisa sangat sulit dan membawa akibat yang menghancurkan.

Ketika kita dihadapkan kepada suatu keputusan yang sulit, bagaimana kita memahami dan mengambil keputusan itu? Apakah kita mengambil keputusan hanya karena dorongan emosi, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang?

Sudah berapa kali kita mendengar orang berkata, “Rasanya sudah benar saat pengambilan keputusan itu” atau “Rasanya sudah pas, jadi tunggu apa lagi. Lakukan saja.” Ide seperti ini sangat umum di dalam kultur kita and kita bisa menemukannya pada literatur yang populer, pada musik dan film. Saya teringat dengan satu lagu yang beberapa tahun lalu saya dengar begini, “Dengarkan suara hatimu, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan.”

Tetapi sungguhkah demikian? Sungguh itu kah yang dapat atau yang sebaiknya kita lakukan, ketika kita dihadapkan dengan pilihan, yakni berdasarkan apa yang kita rasakan pada saat itu?  

Seperti pasir yang runtuh

Mari sejenak bayangkan kita sedang berjalan di sebuah bukit pasir. Menyenangkan bila kita berjalan di sana, berlari-lari atau bermain di pasir; tetapi pasir tidak memiliki stabilitas. Pasir selalu bergeser atau runtuh, yang sama sekali tidak bisa dibuat menjadi fondasi yang stabil. Anda tentu tidak akan membangun sesuatu di atas pasir jika anda menginginkannya bertahan, bukan?

Emosi itu sama seperti pasir yang terus bergeser. Apa yang kita rasakan hari ini tidak sama dengan apa yang akan kita rasakan besok. Atau perasaan mungkin bisa sama tetapi intensitasnya berbeda.

Hidup yang kita bangun adalah hasil dari sebuah keputusan hidup yang telah kita buat. Apabila kita tidak bahagia dengan hidup yang kita sedang jalani sekarang, sebaiknya kita melihat fondasi yang di atasnya kita letakkan keputusan itu. 

Misalnya, ketika Mandy pertama kali menceritakannya kepada saya seperti apa kehidupannya bersama Ray, dia mengekspresikan kemarahannya bagaimana Ray memperlakukan dia dan ketiga anaknya. Tetapi persis seminggu kemudian ketika saya melihat dia lagi, kemarahannya agak mereda dan dia lebih defensif terhadap perlakuan-perlakuan Ray. Perasaannya telah berubah, dan apa yang dia telah rencanakan untuk dikerjakan di luar kemarahannya, dalam hitungan seminggu berubah dan bercampur baur dengan perasaan-perasaan lain.

Tetapi meskipun dia mampu berbicara di luar kemarahannya karena perasaan yang berubah terhadap apa yang telah terjadi, masalahnya ialah bahwa Ray masih tetap sama – dia adalah seorang yang mudah tersulut marah.

Penuntun yang berbeda

Akan ada manfaatnya bila kita meninjau kembali pada beberapa pilihan kita sendiri. Berapa kali kita dipengaruhi emosi ketakutan, kesendirian, kemarahan atau sakit hati? Apakah kita sekarang menyesali keputusan yang kita buat dulu? 

Bukankah itu akan lebih baik seandainya keputusan itu dituntun oleh sesuatu yang tidak selalu bergeser seperti halnya bukit pasir yang kita bicarakan tadi – yakni sesuatu yang solid dan tidak akan pernah berubah?

Untuk itulah gunanya nilai kehidupan. Nilai adalah martabat dan martabat itu menjadi standar hidup, atau esensi kepercayaan yang dimaksudkan untuk memberi sebuah fondasi yang di atasnya kita membuat keputusan. Sementara emosi berfluktuasi dan bisa membingungkan, tetapi standar kita tetap tegak, solid dan tidak goyah.

Tentu, itu bukan berarti bahwa emosi tidak perlu. Pada kenyataannya, emosi sering memotivasi kita untuk mengambil tindakan di dalam kehidupan kita. Misalnya, kecemasan akan ujian di bangku sekolah/kuliah atau ketika kita presentasi di tempat kerja, emosi akan mendorong kita untuk terlebih dahulu membuat persiapan-persiapan yang lebih baik. Emosi memberi kita informasi tentang diri kita sendiri dan menolong kita untuk berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja emosi sungguh memainkan sebuah peran untuk pengambilan keputusan.

Masalah timbul ketika kita mengabaikan nilai atau standar kita untuk mengakomodasi hati kita.

Keputusan Mandy menikah dan kemudian hidup bersama Ray merupakan sebuah contoh yang baik.  Mandy sering berbicara betapa anak-anaknya sangat berarti bagi dia dan bagaimana dia menganggapnya itu sebagai sebuah prioritas bagi dia. Dia menginginkan mereka aman dan dia berkata bahwa dia tidak akan membawa laki-laki lain – ke dalam kehidupan mereka – yang tidak mempedulikan mereka atau membesarkan mereka dengan cinta kasih. 

Dan ketika Mandy membayangkan saat itu, yakni ketika Ray membuat dia merasa bahwa dia peduli – ketika dia tidak sedang marah-marah – dia (Mandy) merasa jenuh untuk hidup sendiri.

Seandainya dia telah dituntun oleh hasratnya untuk mempunyai sebuah keluarga yang sehat dan yang aman dan menjadi seoarng ibu bagi anak-anaknya yang kepadanya mereka bergantung akan keselamatan dan perlindungan, kejadiannya barangkali akan berbeda. Akan tetapi, karena keputusan yang diambil berdasarkan emosinya sehingga sebuah dampak yang berkepanjangan terjadi pada dia dan anak-anaknya.

Fondasi yang solid untuk pengambilan keputusan

Sayangnya, kita hidup di dalam suatu kultur dimana kita lebih menempatkan prioritas pada perasaan di zona nyaman kita dan bukan pada apa yang benar untuk kita lakukan.  Daripada hidup menurut kode moral, etika atau standar, banyak orang telah menganut konsep relativisme moral, yang artinya apa yang mereka anggap benar atau salah ditentukan oleh situasi dan perubahan emosi mereka.

Tetapi apakah pendefinisian benar dan salah itu sesuatu yang kita putuskan untuk diri kita sendiri? Atau adakah standar ukuran yang seharusnya kita semua patuhi?

Di dalam kitab Keluaran 20:1-17 Allah meletakkan dasar standarNya bagi kita di dalam Sepuluh Perintah. Di dalam hukum-hukumNya Allah memberitahukan kita apa sistem nilai kita, dan di Galatia 5:22-23 rasul Paulus menuliskan buah-buah Roh atau buah yang dihasilkan dari melakukan dan hidup menurut hukum-hukum ini, yakni: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri.

Kita coba bayangkan menikmati sebuah kehidupan yang merefleksikan karakteristik ini! Ketika kita mengambil keputusan yang dituntun oleh prinsip-prinsip hukum Allah yang solid dan kokoh ini maka sebuah kehidupan yang bahagia dan berbuah akan menjadi hasilnya.

Di Matius 7:24-27 Kristus berkata kepada pengikut-pengikutnya: “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.

“Tetapi setiap orang yang mendengar perkataanKu ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."

Hidup yang kita bangun merupakan hasil dari keputusan yang kita ambil dan itu seumur hidup. Jika ternyata kita tidak bahagia dengan hidup yang kita jalani sekarang, maka adalah baik untuk melihat fondasi yang di atasnya kita sedang mendasarkan keputusan kita itu.

Mandy telah bergumul sebab dia membangun di atas emosi dan perasaannya. Dia akhirnya bercerai; anak-anaknya telah bertumbuh dalam ketidakpastian.

Meskipun demikian, pergumulan Mandy ini sebaiknya jangan menjadi sebuah pengalaman bagi kita. Memang kesalahan kadang-kadang tidak terhindarkan, tetapi ketika kita telah membuat keputusan dan menempatkannya di atas fondasi yang benar – Firman Allah – dan percaya sepenuhnya kepada Dia, kita dapat yakin bahwa apa yang kita bangun akan menjadi sesuatu yang kokoh dan akan bertahan selama kita hidup. 

*Nama Klien telah disamarkan untuk melindungi privasi. Debbie Pierce, LPC, NCC, adalah seorang psikoterapis yang berlisensi dan telah berpraktek selama 20 tahun.

 

 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry