Hari-hari Raya Kudus vs. Hari-hari Libur Tradisi Keagamaan

oleh Ron Kelley

http://lifehopeandtruth.com/life/plan-of-salvation/holy-days-vs-holidays/

Mengapa kebanyakan dari hari-hari libur agama tradisi tidak disebut di dalam Alkitab? Sebaliknya, mengapa belum banyak orang mendengar hari-hari raya kudus yang Alkitab perintahkan untuk kita rayakan?

Sepertinya setiap orang sangatlah menyukai hari-hari libur! Sebab liburan merupakan saat yang begitu istimewa bagi keluarga untuk berkumpul bersama. Saat-saat tersebut merupakan saat spesial di mana banyak orang memelihara tradisi keluarga mereka dari tahun ke tahun, terutama pada masa-masa perayaan Natal dan Tahun Baru. Seperti kata nyanyian, “It is the most wonderful time of the year.” [Saat yang paling indah di setiap tahun]. 

Kemudian ada juga hari raya yang disebut “Easter”, yang sangat kental dengan makna religius. Akan tetapi, apakah tradisi dan adat-istiadat ini alkitabiah? Apa hubungan antara telur-telur yang diwarna-warnai dan kelinci berwarna coklat itu dengan makna yang sesungguhnya dari perayaan itu? 

Mengapa kita tidak bisa menemukan perintah khusus tentang perayaan Natal dan Easter di lembaran Alkitab? Barangkali orang menganggap bahwa perayaan-perayaan penting seperti itu merupakan bagian utama dari ajaran Gereja Perjanjian Baru. Tetapi Alkitab tidak mengajarkan perayaan-perayaan ini. Sebaliknya Alkitab mengajarkan tujuh perayaan, yakni hari-hari kudus Allah yang memiliki makna, tapi di antara ketujuh ini tidak satupun termasuk hari-hari libur besar yang dirayakan orang-orang sekarang ini. 

Kenyataannya ialah bahwa Alkitab melarang perayaan-perayaan hari-hari libur dunia ini, seperti Natal dan Easter yang asal-usulnya berawal dari ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus! Mari kita uji hari-hari kudus versus hari-hari libur tradisi.

Hari-hari libur tradisi berasal dari pra-sejarah Kristen

Apakah hal ini mengagetkan anda? Semestinya tidak. Cobalah anda simak. Setiap tahun media surat kabar dan Internet dipenuhi dengan artikel-artikel menarik yang menjelaskan kisah dan seluk-beluk tentang bagaimana tradisi perayaan Natal, Easter, Tahun Baru, Valentin dan Halloween ini terjadi di dalam ritual-ritual agama penyembah berhala zaman dulu. Jika kita meneliti beberapa acuan tentang peristiwa-peristiwa zaman dulu, maka kita akan menemukan fakta-fakta ini, yang sejak lama telah diketahui!

Di dalam buku Catholic Encyclopedia, edisi 1911, pada bagian yang berjudul “Christmas”, anda akan membaca: “Natal tidak termasuk di antara hari-hari perayaan awal Gereja… bukti pertama dari perayaan Natal ini didapat dari Mesir.” Dan: “Tradisi paganisme [paham penyembah berhala] yang dirayakan sekitar bulan Januari [tanggal satu bulan itu menurut kalender Romawi kuno] mirip dengan perayaan Natal.”

Di dalam buku Encyclopaedia Britannica, edisi 1946, menyatakan hal seperti ini: “Natal” tidaklah termasuk di antara perayaan-perayaan awal yang dirayakan gereja. Itu tidak diajarkan oleh Kristus atau rasul-rasulNya, atau oleh kuasa Alkitab. Tetapi itu diadopsi dari perayaan paganisme.

Encyclopedia Americana, edisi 1944, mengatakan: “Natal itu, menurut pendapat para pembesar, tidak dirayakan di abad pertama oleh jemaat Kristen, sebab cara hidup Kristen saat itu pada umumnya ialah lebih menghargai hari kematian orang-orang hebat daripada merayakan kelahirannya. Namun pada abad ke-4, suatu pesta perayaan diadakan untuk mengenang peristiwa ini (kelahiran Kristus). Pada abad ke-5 Gereja di dunia Barat memerintahkan perayaan itu untuk dipelihara selamanya yang bertepatan pada hari perayaan Romawi kuno bagi kelahiran dewa Sol, tanpa  pengetahuan yang pasti tentang adanya hari kelahiran Kristus.” 

Sejarah Natal

Apakah anda memperhatikannya? Para sejarawan besar yang dikenal dikalangan masyarakat luas ini memaparkan bahwa Natal tidak dirayakan oleh Kristen 200 atau 300 tahun setelah pelayanan, hidup dan kematian Kristus – ini merupakan suatu periode dari banyak generasi setelah berdirinya Gereja pada Hari Pentakosta. Dengan jelas kita melihat bahwa tidak ada dasar kebenaran alkitabiah di dalam perayaan Natal. 

Jadi dari mana asal-usul hari Natal? William Walsh memberikan beberapa fakta asal-usul Natal di dalam bukunya yang berjudul The Story of Santa Klaus: “Kita mengingat bahwa perayaan Natal … adalah suatu evolusi yang lambat laun berkembang dari suatu periode, lama sebelum zaman Kristen … itu merupakan suatu lapisan dari perayaan-perayaan penyembah berhala, dan banyak dari perayaan-perayaannya hanyalah adaptasi dari paganisme [ceremonies]” (1970, p.58).

Reporter Jeffery Sheler mencatat seperti ini, “Reputasinya memang pudar di zaman kolonial Amerika bahwa perayaan Natal telah dilarang di kalangan protestan Puritan New England, di mana pendeta terkenal, Cotton Mather, menjelaskan bahwa perayaan Natal yang dibuat meriah itu merupakan ‘suatu penghinaan terhadap kasih karunia Allah’” (In Search of Christmas,” U.S. News and World Report, Dec 23, 1996, p. 56).

Bisa anda bayangkan itu? Orang-orang New England pertama sebetulnya sudah melarang perayaan Natal ini! Penduduk Puritan, yakni orang-orang yang berpegang teguh terhadap norma susila mendenda siapa saja yang merayakan hari Natal.  Dengan menggunakan sedikit waktu saja dalam meneliti fakta-fakta ini, orang bisa segera melihat bahwa setiap tradisi yang dihubungkan dengan praktek ritual Natal bermula dari era pra-Kristen paganisme.

Bagaimana dengan Easter?

Tetapi bagaimana tentang Easter? Bukankah itu dirayakan menurut Alkitab, yang menggambarkan kebangkitan Yesus Kristus? Lagi-lagi, kita menemukan jawaban yang sama. Jika anda melakukan riset tentang tradisi perayaan Easter, anda akan menemukan jawaban bahwa banyak di antaranya dirayakan atas dasar simbol-simbol fertilitas [lambang kesuburan untuk menghasilkan keturunan] yang dianut oleh penduduk zaman purba.

Pernahkah anda merenung sejenak dan mempertanyakan mengapa kelinci-kelinci dan telur-telur yang diwarna-warnai itu erat dikaitkan dengan peringatan kematian dan kebangkitan Juruselamat umat manusia? Barangkali sudah saatnya kita pertanyakan hal ini – ajukanlah pertanyaan. 

Apa yang kita lihat ialah kombinasi dari tema alkitabiah dengan tradisi kaum penyembah berhala dari abad-abad dahulu. Inilah apa yang dimaksudkan dengan istilah “sinkretisma”, yakni penyatuan aliran. Perhatikanlah definisinya dari kata kerja syncretize: “To attempt to unite and harmonize especially without critical examination or logical unity” [Mencoba memadukan dan menyelaraskan terutama tanpa pengujian krusial atau kesatuan logis] (Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, edisi ke-11).

Banyak orang akan mengakui bahwa praktek sinkretisma ini memainkan suatu peran dalam penyebaran agama Kristen dengan cara membuat perayaannya lebih menarik dan memikat bagi orang-orang penganut paganisme. Beberapa orang berpikir, jadi apa salahnya jika beberapa dari adat-istiadat dan tradisi-tradisi kami yang kami dambakan itu bersumber dari paham penyembah berhala atau non-Kristen? Mengapa itu menjadi satu persoalan jika memang niat seseorang itu ialah untuk menyembah Allah melalui berbagai adat-istiadat?  Banyak orang akan menjawab pertanyaan ini bahwa adat-istiadat “aneh” ini hanya sekedar memperindah perayaan itu sehingga menjadi sesuatu yang lebih menarik bagi keluarga.

Sekarang mari kita perhatikan baik-baik, sebab banyak hal yang menunggangi bagaimana pertanyaan itu dijawab.

Hari-hari Kudus versus hari-hari libur tradisi: Apa yang Alkitab katakan?

Dasar agama Kristen adalah Alkitab. Apa yang Alkitab katakan tentang hari-hari libur dan adat-istiadat? Allah memperingatkan umatNya untuk tidak mencari dan menanya-nanyakan bangsa-bangsa lain tentang bagaimana mereka menyembah dewa-dewa mereka. “Jangan engkau berbuat seperti itu terhadap TUHAN, Allahmu; sebab segala yang menjadi kekejian bagi TUHAN, apa yang dibenciNya, itulah yang dilakukan mereka bagi allah mereka” (Ulangan 12:31).

Perhatikanlah satu lagi acuan yang menjelaskan pohon Natal modern yang ditulis di kitab Yeremia 10:2-5: “Beginilah firman TUHAN: ‘Janganlah biasakan dirimu dengan tingkah langkah bangsa-bangsa; janganlah gentar terhadap tanda-tanda di langit, sekalipun bangsa-bangsa gentar terhadapnya. Sebab yang disegani bangsa-bangsa adalah kesia-siaan; bukankah berhala itu pohon kayu yang ditebang orang dari hutan, yang dikerjakan dengan pahat oleh tangan tukang kayu? Orang memperindahnya dengan emas dan perak; orang memperkuatnya dengan paku dan palu supaya jangan goyang. Pohon-pohon itu tegak berdiri, seperti pohon palem. Berhala itu sama seperti orang-orangan di kebun mentimun, tidak dapat berbicara; orang harus mengangkatnya, sebab tidak dapat melangkah.’”

Deskripsi pemujaan dewa-dewa kuno agama penyembah berhala ini, yang disejajarkan dengan tradisi pohon natal modern, menolong kita untuk memberi  alasan kuat, yang berdasarkan ayat Kitab Suci: bahwa umat Allah tidak boleh belajar dari cara-cara orang yang tidak menyembah Dia.  

Beberapa orang mungkin menjawab: “Ya, tapi itu kan terjadi ribuan tahun yang lalu dan itu tidak berlaku bagi agama Kristen Perjanjian Baru.” Perhatikan apa yang Kristus katakan dalam kitab Matius 15:9: “Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

Menyembah Allah pada hari-hari kudusNya

Apakah mungkin bahwa kebudayaan kita, yang niatnya memuliakan Kristus dengan cara merayakan hari-hari yang dianggap hari kelahiran dan kebangkitanNya itu,   dijalankan dengan sia-sia? Alkitab memberi jawaban tegas kepada kita agar kita menghindarkan diri dari tradisi-tradisi dan adat-istiadat yang berakar dari budaya-budaya orang bukan Kristen. 

Apakah ini berarti bahwa semua hari-hari libur agama dan perayaan-perayaannya bertentangan dengan kebenaran Allah?

Sama sekali tidak! Kita mendapat perintah Allah yang berulang-ulang diserukan, yakni perintah pengudusan hari Sabat dan hari-hari raya Tuhan sebagaimana diuraikan di dalam kitab Imamat 23. Semua perayaan ini diserukan sebagai “hari-hari raya TUHAN” untuk ditaati turun-temurun. Yohanes 7 menjelaskan bagaimana Yesus Kristus mengajar pada puncak perayaan Hari Raya Pondok Daun. Lukas 22 menunjukkan bahwa Kristus dan murid-muridNya merayakan Paskah dan Hari Raya Roti Tidak Beragi. Apabila kita menjadikan Alkitab itu sebagai pemandu kita untuk melaksanakan ibadah kita melalui hari-hari libur agama, maka kesimpulannya akan menjadi jelas.

Selain itu, begitu banyak orang nampaknya menikmati kesenangan dari perayaan Natal dan Easter serta hari-hari libur tradisi lainnya dengan berbagai alasan: antara lain, “Saya hanya melakukan itu demi anak-anak saya.” Ini alasan populer dari banyak orang untuk merayakan hari-hari libur ini meskipun ajaran tegas alkitabiah menentangnya. “Ini merupakan satu-satunya kesempatan keluarga kami untuk berkumpul bersama.” “Allah tidak menghendaki saya untuk menjauh dari keluarga saya di saat perayaan dan tradisi hari-hari libur yang penuh kegembiraan ini, bukan?”

Tetapi apa yang menjadi penuntun hidup kita? Firman Allah atau logika kita sendiri?

Yesus sendiri dengan tegas mengatakan: “‘Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia…’ Kata Yesus kepada mereka, ‘Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri’” (Markus 7:8-9). Rasul Paulus menyebutkan teguran ini di dalam suratnya kepada jemaat Allah di Kolose: “Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kolose 2:8).

Apa lagi yang dapat kita katakan? Keputusan apa yang akan kita ambil?

Tahukah anda bahwa telah banyak orang memilih untuk tidak merayakan hari-hari libur agama ini? Dengan melakukan sedikit riset maka akan terkuak bahwa banyak di antara perayaan-perayaan agama tradisi kita itu bermakna kosong tapi yang  hanya berupa tiruan ritual-ritual kuno yang secara cerdik digodok sehingga menyamar sebagai “Kristen.” 

Tetapi ini bukan berarti bahwa hari-hari libur non-religius, yang sering dirayakan di berbagai negara. Perayaan-perayaan yang sama juga dirayakan orang Amerika, seperti Memorial Day yang jatuh pada tanggal 4 Juli [Hari Peringatan Militer] dan Hari Buruh, bukanlah hari-hari keagamaan dan itu dapat diterima sebagai satu perayaan.   

Juga, hari-hari libur orang Yahudi, seperti Purim dan Hanukkah ditetapkan sebagai hari ucapan syukur kepada Allah, sama seperti orang Amerika dan Kanada merayakan Hari Bersyukur atau disebut Thanksgiving. Meskipun beberapa cara modern – oleh beberapa orang – untuk merayakan hari-hari ini mungkin tidak seperti yang Allah kehendaki, itu semua tidak berakar dari paganisme atau paham ajaran penyembah berhala dan oleh karena itu tidak merusak kebenaran yang diajarkan oleh hari-hari raya Allah. 

Apa yang akan dilakukan oleh murid Kristus sejati?

Hari-hari kudus versus hari-hari libur tradisi? Apakah itu menjadi masalah hari-hari keagamaan mana yang harus kita rayakan? Jika memang demikian, mengapa anda tidak meneliti hal ini dan buktikan sendiri? Barangkali anda akan kaget oleh apa yang sebenarnya diajarkan Alkitab!

Untuk informasi selanjutnya, periksalah artikel-artikel penting lainnya pada bagian ini 

Anda punya pertanyaan?
Ajukanlah kepada kami.

 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry