Masalah Pernikahan, Part 1: Sebelum Anda Memasuki Jenjang Pernikahan

oleh Eddie and Shannon Foster

https://lifehopeandtruth.com/life/blog/marriage-problems-part-1-before-you-tie-the-knot/

Ayat-ayat kutipan artikel ini diambil dari Alkitab versi: Indonesian Modern Bible, dan juga dari Indonesian Terjemahan Baru.

Blog ini dimulai dari seri pertama yang membahas masalah-masalah umum yang terjadi dalam pernikahan. Dalam postingan ini kami bertanya: Adakah cara untuk melewati masalah pernikahan sebelum anda katakan “I do”? – [Ya, saya setuju]?

 

 

 

 

 

 

 

Pernikahan merupakan satu sukacita besar yang dapat dialami oleh dua insan. Itu dapat menjadi impian, romantik, intimasi, kebahagiaan dan (di atas semua itu) kasih-sayang sepanjang hidup. 

Tetapi itu juga bisa membuat frustrasi, menyusahkan dan benar-benar jadi mimpi buruk bagi beberapa orang. Dengan tingkat perceraian yang tinggi di berbagai negara di dunia ini, nampaknya pernikahan bisa berbalik arah: awalnya baik-baik saja tetapi ujungnya perceraian.

Blog bersambung ini akan menawarkan wawasan dan pertolongan dalam masalah-masalah pernikahan, yakni pernikahan yang jalannya mengarah kepada hubungan yang tidak bahagia dan bahkan ke arah perceraian. Seri ini ditulis untuk mereka yang akan menjalani pernikahan, atau mereka yang mengantisipasi tantangan atau sukacita pernikahan. Ini juga ditulis untuk mereka yang sudah menikah selama bertahun-tahun tetapi masih menunjukkan tanda-tanda kekusutan pernikahan.  

Seri ini tidak akan sekedar mencirikan perspektif kita dan, tentu, ayat Suci Alkitab, tetapi juga akan mengikutsertakan pengalaman-pengalaman dari beberapa pasangan dengan usia yang berbeda-beda. Kami juga mensurvei beberapa pelayan pastor [gembala sidang jemaat] Church of God, a Worldwide Association, yang telah memiliki puluhan tahun pengalaman dalam konseling pernikahan.

Pada tahap awal

Kami telah menikah selama 15 tahun. Setelah beberapa transisi besar – seperti memulai karir, membeli rumah, mempunyai anak dan sekarang satu dari anak kami sudah mau sekolah – masa pacaran dan tunangan kami sepertinya sudah seperti sejarah kuno. Tetapi tahap awal itu sungguh-sungguh menjadi fondasi yang mendasar.

Sementara hari pernikahan satu pasangan sudah semakin dekat, bisa jadi ada ketakutan tetapi juga kegembiraan. Ada harapan untuk masa depan tetapi juga ada keraguan. Tetapi pada periode ini bisa juga ada masalah besar yang berkembang yang bagi kita terlalu merepotkan untuk diperhatikan.

Kita cenderung menyederhanakan kondisi dan situasi pernikahan dan menyamakan dengan drama kecil yang kita tonton di TV, pada film-film atau hal itu kita bayangkan dalam khayalan kita. Di dalam gereja kita, hal pernikahan sudah merupakan kebiasaan untuk menjalani konsel sebelum menikah dengan seorang pastor sebelum mereka resmi suami istri – sebelum berkata “Ya, saya setuju.” (Beberapa pasangan bahkan menjalani konsel sebelum tunangan.). (Bacalah artikel kami yang berjudul “Pentingnya Konseling Sebelum Menikah” pada situs ini). Manfaat konseling formal sebelum pernikahan ialah bahwa banyak potensi masalah yang bisa jadi malapetaka terhadap pernikahan dapat ditelusuri, didiskusikan dan ditanggulangi sebelum calon pasangan itu memasuki janji sakral pernikahan.  

Bagaimana pun juga, pernikahan telah ada sejak abad penciptaan umat manusia (Kejadian 2:24), dan pernikahan itu sendiri merupakan simbol hubungan Kristus dengan Gereja (Efesus 5:32). Jadi masuk akal jika pernikahan semestinya menjadi sesuatu pemikiran yang sangat serius, bukan?

Perhatikan beberapa red flags [tanda-tanda bahaya] yang bisa saja timbul sebelum menikah. Jangan anda mengabaikan satupun dari red flags ini sebab efek buruknya bisa bertahan lama terhadap keberhasilan pernikahan.

1. Kurangnya transparansi (atau kita tidak benar-benar mengenal perilaku pasangan kita)

Membicarakan hal-hal dalam percakapan yang jujur dan transparan tentang kelemahan dan dosa yang sedang kita pergumulkan sebelum pernikahan dapat menyelamatkan kita dari “keterkejutan” masalah-masalah ini yang bisa saja timbul setelah menikah. Meskipun percakapan seperti ini merupakan tantangan, ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan transparansi terhadap satu sama lain. Percakapan-percakapan seperti ini akan menolong kita untuk membuang warna buram dari pernikahan bahagia yang sering kita angankan sebelum kita mengatakan “Ya, saya setuju.”

Seorang pastor yang kami survei mengatakan bahwa tantangan yang biasa terjadi kepada pasangan tunangan adalah “mereka menyimpan dosa tersembunyi, di samping itu mereka tidak mendiskusikan keprihatinan mereka tentang pernikahan meskipun mereka sudah tahu.” 

Pastor lain berkata bahwa dia biasanya bertanya kepada kedua pasangan: “Apakah kalian berdua siap sedia berkomunikasi secara terbuka tentang perasaan kalian? Apakah kamu masing-masing merasa bahwa kalian saling memahami?” Jika jawabannya terhadap kedua pertanyaan ini “tidak”, berarti itu sebuah red flag.

Kami bertanya kepada beberapa suami istri pertanyaan ini, “Apa yang anda sesalkan karena tidak tahu hal itu sebelum anda menikah?” Beberapa jawaban mereka adalah sbb:

  • “Saya menyesal karena saya tidak tahu dia berubah begitu saya menikah dengan dia. Jika saya tahu itu, saya tidak akan menikahinya.”
  • “Situasinya sangat rumit, dan saya sungguh bersyukur karena punya pasangan dengan nilai yang sama. Hidup ini akan sangat lebih mudah jika anda berdua berada pada kepercayaan dan moral yang sama.”
  • “Kelemahan apa saja yang anda lihat pada orang lain, itu akan tetap ada pada dia dan itu mungkin akan semakin lebih buruk.”
  • “Bahwa kami tidak pacaran lebih lama.”
  • “Nomor 1 – tidak ‘harus’ menikah. Perlu atau harus menikah dengan seseorang yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama.”

Langkah-langkah solusi: Meskipun menyakitkan, bicarakanlah hal itu dan tanyakan to the point meskipun hal itu tidak menyenangkan bagi dia. Hal ini memerlukan waktu ketika masih pacaran, dan juga dalam masa observasi.

Berikut ini adalah pertanyaan yang ditanyakan selama periode ini:

  • Bagaimana calon pasangan anda bersikap dan bertindak di dalam keluarganya dan teman-temannya?
  • Adakah hal-hal tentang pergumulan masa lalu atau sekarang yang berpotensi menjadi pemutus, yang sungguh perlu dibicarakan sebelum menikah?

Sebagai orang Kristen, kita semua berusaha keras dan ingin berubah menjadi lebih baik, Namun tidak bersikap terbuka tentang siapa kita sebenarnya atau tidak jujur tentang sesuatu dan di saat yang bersamaan merampok kemampuan orang lain yang memiliki informasi untuk membuat keputusan yang benar tentang pernikahan. Jika kita sedang menyembunyikan hal-hal tentang diri kita, maka semua itu akan sepertinya ketahuan sewaktu-waktu (Bilangan 32:23). Oleh karena itu, adalah lebih baik masalah-masalah seperti ini dibicarakan sebelum kita memutuskan untuk menjalani hidup kita dengan seseorang daripada masalah-masalah ini muncu di kemudian hari.

2. Disneyfication [disnifikasi] pernikahan (atau bersikap naïve tentang kehidupan dalam pernikahan)

Ketika sesuatu kesulitan terjadi di dalam pernikahan kita, kita justru berlelucon dengan mengucapkan, “Seperti inikah yang kamu anggap pernikahan?” Ucapan ini agak sembrono dalam situasi ini, tetapi hal ini juga akan mengarah kepada masalah besar yang dialami pasangan itu. Kita cenderung menganggap sepele seperti apa pernikahan itu dan menyamakan seperti adegan-adegan film yang kita tonton di TV, di film layar lebar atau khayalan-khayalan indah di kepala kita sendiri.   

Seorang pastor berkata bahwa red flags yang didapati selama konseling pernikahan biasanya bisa digambarkan sebagai berikut: “Sebuah kenaifan umum tentang apa saja, itu bersangkut-paut dengan pernikahan.”

Beberapa orang lain lagi yang kami survei menyebutkan hal-hal berikut ini dan hal-hal lain yang membuat mereka heran:

  • “Adalah jauh lebih sulit berkomunikasi efektif daripada apa yang anda bayangkan.”
  • “Betapa sulitnya untuk mendahulukan orang lain setiap saat, setiap harinya.”
  • “Dalamnya ketulusan memberi [itulah yang diperlukan untuk membuat pernikahan langgeng berjalan mulus].”
  • “Seberapa dewasa emosional kita, atau seberapa lemah emosional kita, akan berdampak terhadap pernikahan kita.”
  • “Masa pacaran adalah hal mudah. Pernikahan tidak.”

Salah satu dari pastor yang kami survei berkata bahwa masalah yang sering terjadi dalam pernikahan ialah karena “kurangnya respek terhadap satu sama lain, terutama karena kesalahan dalam berkomunikasi. Entah karena mereka tidak bicara kepada satu sama lain, atau ketika mereka bicara, tetapi saling merendahkan atau saling mengecam, dan mengungkit-ungkit masa lalu. Oleh karena itu, pertengkaran dan argumen terjadi. Kalau sudah begini, biasanya emosi merajalela, dan semakin intens. Kurang respek dan buruknya berkomunikasi berdampak pada segalanya. Itu berdampak pada keuangan, berdampak pada urusan anak, pada kehidupan santai, pada kehidupan ranjang dan pada apa saja.”   

Langkah-langkah solusi: Seperti halnya kita harus “membuka mata dengan lebar” tentang siapa pasangan kita, maka kita juga harus “membuka mata dengan lebar” tentang apa arti pernikahan.

Memang pernikahan itu penuh dengan kesenangan dan sukacita. Tetapi itu juga penuh dengan pengorbanan, tantangan, kewajiban untuk bertumbuh dan berubah, dan harus siap menghadapi kurva curam untuk belajar memahami bagaimana membuat dua individu terpisah menjadi “satu daging” (Markus 10:8). Ada banyak hal yang bisa dilakukan pasangan untuk mendapat pemahaman yang lebih baik seperti apa pernikahan itu, termasuk:

  • Sharing tentang pengalaman dan situasi yang dimiliki masing-masing, sebanyak mungkin, pada saat pacaran.
  • Menjalani konseling pra-nikah dengan pastor atau konselor yang berpengalaman dalam konseling pernikahan.
  • Membicarakannya dengan pasangan nikah yang telah menjalani pengalaman pernikahan selama bertahun-tahun. Hal ini akan dapat menolong anda belajar lebih banyak tentang apa sesungguhnya arti kesetiaan terhadap orang lain baik dalam “sakit maupun sehat.”

3. Masalah yang dihadapi “kekasih yang bernasib sial” (keluarga dan kerabat dan teman tidak senang dengan calon pasangan)

Kadang-kadang salah satu masalah terbesar yang dihadapi sebuah pasangan ialah alasan ketidaksetujuan orang lain – kadang-kadang karena alasan-alasan nyata dan masuk akal.

Berikut ini adalah tanggapan-tanggapan umum terhadap fenomena ini:

  • “Orangtuaku tidak mengerti saja. Kami akan beda dari mereka-mereka itu.”
  • “Anda tidak mengenal dia seperti saya mengenal dia. Dia bisa sungguh-sungguh berperilaku baik secara pribadi.”
  • “Saya bisa menikah dengan siapapun yang saya mau. Mengapa anda mencoba mengendalikan saya?”

Meskipun kita sebaiknya tidak membuat keputusan kita tentang pernikahan atau tidak menikah dengan seseorang semata-mata atas pendapat orang lain, tetapi jika orang lain yang mengasihi kita mengungkapkan keprihatinan mereka, kita sebaiknya jangan mengabaikannya begitu saja atau tidak menanggapinya samasekali. Adalah bijak apabila kita mendengarkan mereka atas pendapat mereka.  

Seorang pastor mengungkapkan begini: “Masalah lain ialah bahwa ketika orangtua mereka melihat ada masalah dalam hal hubungan keduanya, [sebab] orangtua adalah orang yang sangat tahu persis seperti apa anak mereka.”

Seorang pastor lain menyebutkan bahwa kepedulian orangtua itu timbul akibat yang disebabkan pasangan itu, yakni mereka meremehkan atau mengabaikan pedoman alkitabiah. Misalnya, beberapa keprihatinan yang nyata dan masuk akal dari orang lain adalah “menikah dengan seseorang dari agama lain, menikah dengan seseorang yang tidak menghormati masalah kerohanian dengan serius ketika misalnya melakukan hubungan seks sebelum menikah, dll.”

Salah satu responden survei pernikahan menyatakan bahwa efek hubungan keluarga yang langgeng sangatlah penting: “Pernikahan tidak sekedar antar dua orang yang mencintai satu sama lain, tetapi itu juga mencakup ibu dan ayah dan kakek nenek dan sepupu dan kakak serta abang yang sudah lama ada di dalam keluarga itu sebelum pernikahan anda mulai. Sesungguhnya anda juga menikah ke dalam semua anggota keluarga dan dulur atau kerabat keluarga tersebut, bukan hanya pasangan anda. Jadi mengenal semua anggota keluarga sebelum pernikahan sangatlah penting, karena hal itu juga menolong anda untuk lebih mengenal pasangan anda di hari-hari kemudian. Anak-anak masa depan anda akan menjadi bagian dari keberlangsungan dari semua komponen keluarga itu.”  

Langkah-langkah solusi: Jangan abaikan pendapat-pendapat atau masalah yang diajukan  teman-teman dekat dan anggota keluarga. Semua itu juga perlu dipertimbangkan sebelum anda berkata “Ya, saya setuju.” Hindari pemikiran bahwa anda akan menjadi seseorang yang terkecuali dari kaidah pernikahan atau seseorang yang mengemukakan kekecualian (“Yah, si anu mengalami pernikahan yang buruk, padahal dari awalnya semua orang telah berkata mereka pasangan sempurna!”).   

Kita semua memiliki kelemahan, dan adalah bijak untuk mencari masukan dari banyak penasehat (Amsal 11:14), dan bukan sekedar mengikuti emosi kita (Yeremia 17:9).

Intinya ialah

Untuk menghindari banyak masalah yang bisa saja muncul dalam pernikahan, sangatlah penting bagi anda untuk sungguh-sungguh mengenal siapa yang akan anda nikahi, sungguh-sungguh memahami kenyataan pernikahan, entah mereka, yakni orang yang paling dekat dengan anda senang atas pernikahan anda atau justru sebaliknya mereka menyayangkan hal itu – dan tentunya segala sesuatunya sebelum anda berkata “Ya, saya setuju.”  

Sebagaimana seri berikutnya akan membahas ini lebih lanjut, pernikahan masih akan memiliki cukup banyak masalah meskipun kita telah membuat keputusan-keputusan yang benar terhadap langkah-langkah penting pada seri pertama ini. Namun demikian, mulailah dengan baik dan teguh.

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry