Masalah Pernikahan, Part 2: Bulan Madu Telah Usai

oleh Eddie and Shannon Foster - October 11, 2021

Ayat-ayat kutipan artikel ini diambil dari Alkitab versi: Indonesian Modern Bible, dan juga dari Indonesian Terjemahan Baru.

Selama beberapa tahun pertama pernikahan, tantangan yang belum pernah kita alami mungkin timbul. Apa yang akan kita lakukan ketika kita akhirnya menyadari bahwa “bulan madu” sudah usai?

 

 

 

 

 

 

 

 

“Bagaimana rasanya menikah?”

Kita masih ingat ketika ditanya pertanyaan ini pada saat kita masih pengantin baru. Dan kita juga tanyakan hal yang sama kepada orang-orang yang baru menikah. Jawaban kita biasanya sama: Enak! Sebagai pasangan yang baru menikah rasanya memang  menyenangkan, dimana kita baru pertama kali mengalami banyak hal-hal baru di dalam pernikahan itu.  

Akan tetapi dari banyak kesenangan yang kita rasakan itu, yakni saat kita masih pengantin baru dan berbulan madu, itu karena pada tahap ini adalah pengalaman yang serba baru. Tetapi apa yang terjadi setelah itu?

Seorang pastor berkata bahwa pada saat dia memberi konseling, dia sering melihat suatu kecondongan muncul pada tahap ini. Masalah ini termasuk mengeluh dan menggerutu terhadap satu sama lain – dan godaan melihat hal-hal di luar pernikahan untuk dukungan atau pemenuhan kebutuhan (Misalnya, apa yang dimaknakan perumpamaan “seven-year itch” [hubungan romantis pernikahan pudar setelah tujuh tahun pernikahan]).

Apa cara-cara yang perlu kita ketahui untuk menjawab masalah yang terkadang muncul ketika kita sudah menyadari bahwa masa “bulan madu” telah usai?

1. Sekarang anda tahu, dan mengetahui adalah setengah dari penyelesaian masalah

Menurut artikel yang berjudul “These Are the Most Common Argument Married Couples Have,” [Inilah Argumen Yang Paling Biasa Terjadi Pada Pasangan dalam Rumah Tangga,”] beberapa topik argumen yang paling biasa berpusar pada hal-hal berikut ini: kepribadian, persahabatan, intimasi, komitmen, kerabat, kebiasaan, uang, pekerjaan, kesenangan, komunikasi, pekerjaan rumah dan anak-anak. Kami mengalami beberapa dari masalah ini di dalam pernikahan kami – dan yang dialami orang-orang yang kami survei dalam artikel ini.

Jadi, jika anda frustrasi dan penasaran entah hanya anda, sebagai seorang suami atau istri yang mengalami tantangan dan argumen yang disebutkan di sini, percayalah bahwa anda tidak sendirian! Banyak pasangan nikah telah bergumul dalam hal ini, yang sedang bergumul, atau yang akan bergumul dengan masalah yang sama. Kita juga perlu mengingat bahwa musuh kita, Setan si Iblis itu, membenci pernikahan dan akan terus mencoba untuk melemahkan pernikahan anda.   

Itu adalah suatu pertandingan yang anda tidak boleh biarkan dia [Setan] menang.

Dari semua masalah yang disebutkan di dalam artikel di atas tadi, komunikasi merupakan hal yang paling utama disebut dalam survei dengan para pastor dan pasangan-pasangan nikah yang kami tanyai. Kita wajib belajar bagaimana mengkomunikasikan perasaan kita, keinginan kita dan kebutuhan kita kepada pasangan kita secara terbuka dan pantas. Kadang-kadang hal berkomunikasi ini bisa menjadi masalah yang paling sulit yang dihadapi oleh pasangan nikah. Bisa jadi satu pasangan memerlukan tahunan untuk belajar bagaimana berkomunikasi efektif dengan satu sama lain. Semakin cepat anda belajar untuk berkomunikasi, semakin baik hasilnya.

Langkah-langkah solusi: Sekali anda sudah mengenal masalah yang anda hadapi di dalam pernikahan, terutama masalah komunikasi, langsung bertindak dan atasi tanpa menunda.

“Mengapa … [isi sendiri] membuat kita begitu marah terhadap satu sama lain?” Jika anda melihat pola negatif, bicarakan hal itu. “Apa hal berbeda yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki kualitas komunikasi kita?” Komunikasi yang pantas ialah sebuah cara besar dimana kita menunjukkan kasih kita kepada orang lain (1 Korintus 13) dan hal ini bisa menjadi sesuatu yang krusial di dalam menganalisa mengapa konflik terjadi dan apa yang dapat kita lakukan untuk itu.

Seringkali kita mencoba membuat aturan terhadap percakapan kita dan saling memberi kesabaran dan keikhlasan, karena pengalaman lalu kita yang gagal berkomunikasi secara efektif. Bahwa reaksi kemarahan dan rasa tersinggung bisa dengan mudah meledak sehingga penyelesaian masalah tidak menghasilkan apa-apa.

2. “Two households, both alike in dignity, in fair Verona, where we lay our scene . . .” [“Dua keluarga yang sama-sama memiliki kekayaan dan status sosial terhormat tetapi saling bermusuhan …”]

[Catatan: Sebuah pengetahuan dasar dari kisah Romeo and Juliet oleh Shakespeare akan menolong anda dalam hal ini.]

Pernikahan dari dua insan yang berlatarbelakang keluarga berbeda, pengalaman adat-istiadat yang berbeda biasanya tidak membawa pertengkaran terbuka sebagaimana halnya dengan Montagues and Capulets [dua keluarga saling membenci] sehingga anaknya menikah diam-diam. Tetapi kadang-kadang orang berpikiran demikian. Keluarga campuran, hubungan tiri dan dua orang berbeda yang berasal dari tempat asal yang berbeda bisa menjadi sangat sulit untuk menyatukannya di dalam satu rumah.

Beberapa dari responden survei pernikahan menyebutkan hal ini ketika ditanya apa masalah-masalah pernikahan yang signifikan yang mereka hadapi selama beberapa tahun menikah:

  • “Mencari cara bagaimana bekerja sama ketika anda berdua berlatarbelakang  keluarga yang sangat berbeda. Mengatasi cara pikir/cara bicara/cara berperilaku yang menyakitkan yang secara alami kita semua miliki, dan lebih dari itu ketika keluarga anda berasal dari keluarga yang disfungsional.”
  • “Pada umumnya masalah kultur, karena berasal dari latarbelakang adat istiadat yang berbeda dan juga karena berpindah dari satu daerah ke daerah lain.”
  • “Tantangan yang paling berat adalah bahwa segala sesuatu tidak dijalankan dengan cara saya sendiri dan [sebaliknya] membuat keputusan ganda, terutama masalah keuangan.”
  • “Perbedaan-perbedaan kultur. Kami berasal dari daerah yang berbeda dan memiliki latar belakang yang sungguh berbeda.”
  • “Penyatuan cara dia bekerja dengan cara saya bekerja. Bahkan pasta gigi yang berbeda harus dipahami.”
  • “Menyatukan seorang suami baru dengan sebuah keluarga oleh seorang single mom [janda] yang telah mempunyai dua anak yang sudah beranjak dewasa.” 
  • “Menggunakan banyak waktu dengan orang tuanya.”

Langkah-langkah solusi: Anda tidak hanya menikah dengan keluarga pasangan anda; tetapi anda menikah dengan semua pengalaman dan kultur keluarga yang berkenaan dengan mereka. Persiapkan diri anda untuk terjebak dalam dunia yang penuh dengan perbedaan dalam banyak hal, namun berharap untuk mudah-mudahan tidak dalam nilai utama dan nilai spiritual yang anda prioritaskan (Matius 6:33). Menetapkan batas-batas yang wajar, membicarakan apa yang baik dan apa yang tidak untuk satu sama lain, dan memberikan/menunjukkan banyak kasih dan kemurahan merupakan hal yang krusial dalam saling mendukung dan memaafkan satu sama lain (Kolose 3:13).

3.  “The early bird gets the worm” (Masalah yang timbul pada awal pernikahan sebaiknya segera diatasi).  

Coba bayangkan apa yang terjadi pada masalah yang timbul pada awal pernikahan, tetapi tidak pernah dibicarakan. Apakah itu akan dengan sendirinya hilang begitu saja?

Oh tentu saja tidak!

Ada beberapa hal yang kami sayangkan bahwa kami tidak atasi segera sehingga sekarang menjadi sesuatu yang sedang kami hadapi di tengah membesarkan dua anak yang masih kecil; mereka tidak tidur dengan teratur.   

Beberapa pastor menyebutkan hal ini pada survei. Seorang menyatakan bahwa dalam pernikahan “penyesuaian yang paling besar cenderung datang pada awalnya … semakin lama masalah itu dibiarkan dan menjadi lebih dalam bercokol, maka semakin sulit untuk mengidentifikasikan, menghadapinya, mengakuinya dan mengubahnya.”

Pastor lain memberi komentarnya sbb: “Pasangan yang lebih mudah lebih cenderung menghadapi masalah, misalnya kecanduan bermain video game atau kecanduan sosial media. Mereka nampaknya lebih peduli tentang apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain daripada mereka sendiri yang telah menikah begitu lama.” 

Dan satu lagi pastor berpendapat: “Ini pendapat saya bahwa apabila anda terjebak masalah, entah pada awal pernikahan atau di kemudian harinya, carilah nasihat seorang pastor [atau nasihat seorang konselor profesional] untuk menolong anda. Segera cari nasihat sebelum kebencian mulai memburuk.”

Langkah-langkah solusi: Gunakan tahun-tahun awal pernikahan anda untuk membicarakan dan mengatasi masalah. Masalah-masalah semacam itu akan semakin sulit ditangani bila ditunda penyelesaiannya. Sama seperti anak-anak yang masih muda memiliki lebih banyak neuroplastisitas [kemampuan otak untuk bersesuai dengan hal-hal baru], pernikahan muda juga biasanya memiliki lebih banyak ruang untuk membuat perubahan-perubahan dan lebih banyak kebebasan untuk memecahkan masalah-masalah yang sangat sulit yang timbul. Gunakan masa bulan madu untuk berusaha mengubah apa yang perlu diubah di dalam pernikahan, sebelum kemarahan atau sakit hati terbentuk (yang dalam skenario paling buruk, bisa berubah menjadi penghinaan terhadap satu sama lain).  

Waspadalah terhadap masalah dan bekerjasamalah untuk menghindari keburukan yang dapat anda bayangkan akan timbul seiring waktu (Amsal 22:3).

Intinya

Untuk membicarakan masalah lebih awal dalam pernikahan, para responden berkata bahwa menggunakan kesempatan, mendiskusikan hal-hal penting, mencari penasehat,  kompromi, menetapkan peran dan peraturan, melatih kesabaran dan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa dan belajar Alkitab telah menolong mereka secara signifikan. Mengatasi masalah pernikahan secara dini – sebelum defensif, kemalasan atau sikap apatis menyerang – dapat membuat perubahan dengan sangat lebih mudah.

Dalam artikel berikutnya, kita akan menelusuri hal-hal bagaimana kehadiran anak membawa sebuah sukacita dalam dunia baru (dan hiruk-pikuk) terhadap pernikahan.

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry