Mengapa Yesus Harus Mati

Mengapa satu-satunya Pribadi yang pernah hidup sebagai manusia sempurna harus mengalami kematian yang sangat mengenaskan? Sebuah perayaan hari raya Allah, yang sering kali terabaikan, akan menolong kita untuk memahami secara mendalam apa arti penyaliban Kristus bagi kehidupan kita.

oleh David Treybig

https://lifehopeandtruth.com/life/plan-of-salvation/passover/why-jesus-had-to-die/

 [Dari majalah Discern terbitan Maret/April 2014]

Ribuan orang-orang sebangsa dengan Kristus berkerumun di Yerusalem untuk merayakan Paskah – sebuah perayaan di antara perayaan penting setiap tahunnya. Yesus telah  memperingatkan murid-muridNya bahwa Dia akan dibunuh di Yerusalem; tetapi mereka tidak memahami dan tidak percaya, mereka justru memprotes perkataanNya itu!

Namun semua itu terjadi persis seperti yang Dia – dan semua nabi-nabi di Perjanjian Lama – telah prediksikan. Satu-satunya Orang yang tidak berdosa di sepanjang sejarah, Yesus Kristus, dituduh palsu dan ditahan, dicobai secara tidak adil dan dihukum dengan hukuman yang menyiksa Dia habis-habisan hingga mati.

DarahNya, seperti darah domba Paskah yang melambangkan pengorbananNya, akan dicurahkan pada perayaan ini.

Kematian yang mengerikan

Tentara Romawi yang ditugaskan untuk mencambuk Yesus sebelum penyalibanNya semata-mata buta perasaan. Bagaimanapun juga, mencambuk seseorang secara kejam dengan sebuah cambuk kulit yang dibubuhi dengan bongkahan besi pada cambuk kulit bertulang itu, yang dirancang untuk merobek daging si korban, sungguh tak punya hati. Pekerjaannya memang tidak untuk membunuh orang. Dia hanya menyiksa, membuat rasa sakit yang mengerikan sebelum penderitaan akhir si korban itu – dipakukan ke salib kayu untuk membuat dia mati perlahan-lahan.

Dia mengetahui tanda-tanda seorang korban yang hampir mati; sehingga untuk tidak langsung membunuh Yesus, dia menghentikan cambukan itu. Tetapi dia telah menyiksaNya dengan begitu pahit dan trauma bahwa Yesus sudah terlalu lemah tak berdaya untuk memikul salibNya yang terbuat dari kayu itu hingga ke “Tempat Tengkorak,” dimana Dia akan manghabiskan menit-menit kesakitanNya terpaku pada alat kehinaan. Jadi tentara-tentara itu memaksa seorang pengganti – seorang Kirene yang bernama Simon – untuk memikul balok salib itu (bacalah juga Yohanes 19:16-17; Markus 15:21; Lukas 23:26).

Penyaliban merupakan hukuman yang paling memalukan, paling hina, dan paling menyakitkan sebelum kematian. Paling memalukan karena hukuman itu pada umumnya disiapkan untuk orang-orang yang paling rendah – budak, kriminal dan musuh-musuh negara. Paling hina karena orang itu dicambuk sampai merobek pakaian yang dipakainya karena cambukan dan kadang-kadang disalibkan dalam keadaan telanjang. Dalam kasus Yesus, tentara-tentara itu membuang undi untuk jubah Yesus setelah mereka menyalibkan Dia di kayu salib (Yohanes 19:23-24).  

Metode eksekusi ini sangatlah menyiksa dengan sakit yang tak terbayangkan – dan sengaja dirancang demikian. Dilakukan di muka umum, kematian mengerikan yang demikian menjadikan sebuah peringatan serius kepada orang lain untuk tidak melakukan kesalahan, yakni kesalahan apa yang dituduhkan kepada orang tersebut.

Rencana penyelamatan

Sebagaimana kita merefleksikan kesakitan dan penderitaan yang Yesus alami, kita mungkin bertanya, apakah tak mungkin Allah menawarkan kita peluang keselamatan dengan cara lain tanpa mengorbankan Yesus? Bukankan Allah itu  mahakuasa yang dapat menyelesaikan rencana penyelamatanNya tanpa membiarkan Yesus mati?

Tentu bisa, Dia bisa merancang rencana apapun yang Dia kehendaki. Namun ayat Suci Alkitab mengatakan bahwa rencana penyelamatan Allah – yang termasuk kematian AnakNya – telah ditetapkan “sebelum permulaan zaman” (2 Timotius 1:9; Titus 1:2). Domba Allah “telah disembelih sejak dunia dijadikan” (Wahyu 13:8). Allah Bapa dan Dia yang datang ke bumi sebagai Anak Allah merancang rencana penyelamatan Mereka dari sejak awal. Kematian Yesus Kristus tidak terjadi begitu saja.

Jadi, daripada mencoba memikirkan suatu rencana hipotesis dimana Yesus tidak harus mati, pendekatan yang lebih baik untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Kristus harus mati?” ialah dengan mempertimbangkan apa yang sebaiknya kita pelajari dari peristiwa yang menggemparkan itu. Bagaimanapun juga, sejak Allah memutuskan – dan Dia yang menjadi Anak Allah setuju – bahwa Dia akan mati melalui eksekusi yang amat mengerikan, Allah harus memiliki kebenaran yang vital di dalam pikiranNya untuk mengajar dan memotivasi kita.

Konsekuensi dosa

Sebuah kebenaran dari penyaliban Kristus ialah konsekuensi dosa yang amat besar. Dosa – pelanggaran dan penghinaan hukum-hukum Allah (1 Yohanes 3:4) – menuntut harga yang mahal. Sebagaimana Roma 6:23 secara tepat megatakan, “Upah dosa adalah maut.” Dan karena semua orang telah berdosa (Roma 3:23), kita semua patut mendapat hukuman mati.

Apabila kita serius akan hubungan kita dengan Allah, kita harus komit secara serius untuk membenci dosa! Sebuah Amsal berkata, “Takut akan TUHAN membenci kejahatan” (Amsal 8:13). Penulis Mazmur juga berkata demikian: “Hai orang-orang yang mengasihi TUHAN, bencilah kejahatan!” (Mazmur 97:10).

Mengapa begitu tegas?

Kita hidup dengan kekaguman kita terhadap kasih Kristus, bahwa Dia rela mengorbankan DiriNya bagi kita, bahkan ketika kita masih berdosa. Ini bertolak belakang dengan ide populer tentang kebaikan bawaan manusia, kita secara alami tidak membenci kejahatan! Firman Allah berkata bahwa “keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah, dan hal ini memang tidak mungkin baginya” (Roma 8:7).

Faktanya ialah bahwa alam tabiat kita cenderung menyukai perbuatan dosa. Dosa itu menawan, memikat dan sering lebih mudah kita lakukan daripada menuruti hukum-hukum Allah. Dosa itu menawarkan “kesenangan” (Ibrani 11:25). Itulah sebabnya kita harus belajar membenci kejahatan. Akhirnya, apabila kita tidak bertobat dan berpaling dari dosa, maka itu akan mendatangkan kematian kekal bagi kita.

Jadi apa hubungan antara penyaliban Kristus dengan kecenderungan kita untuk berbuat dosa? KematianNya di kayu salib membayar penalti kematian bagi kita jika kita bertobat dari segala dosa kita dan berkomitmen untuk hidup setia sesuai dengan perintah-perintah Allah.

Dalam keadaan seperti ini, meskipun kita patut mendapat hukuman mati, tetapi dengan kasihNya kita “ditebus” oleh “darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19). Allah membuat Dia “menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Korintus 5:21).

Penyaliban Anak Allah itu, dengan segala kesengsaraan, menolong kita untuk memahami betapa ngerinya konsekuensi dosa sehingga dengan demikian kita dapat  menghargai penebusan yang diberikan kepada kita “yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karuniaNya” (Efesus 1:7).

Kita kagum terhadap kasih Allah, bahwa Dia memberikan “AnakNya yang tunggal,” untuk disalibkan karena kita (Yohanes 3:16). Kita semua takjub akan kasih Kristus, bahwa Dia rela menyerahkan hidupNya bagi kita, bahkan ketika kita masih berdosa (Roma 5:8).

Kehidupan yang kekal

Kematian Yesus Kristus memungkinkan kita untuk menerima pengampunan dan pembatalan penalti kematian yang seharusnya kita tanggung, dengan demikian membuka jalan masuk kepada Allah untuk menerima tawaranNya akan anugerah hidup yang kekal. Sementara hal ini sulit untuk dipahami dari perspektif alamiah, itu adalah kebenaran yang hakiki yang Allah kehendaki agar kita belajar untuk menghargainya secara sungguh-sungguh.

Sementara Yesus sudah hampir menyerahkan hidupNya semasa Dia berada di bumi ini, Dia mulai menjelaskan kebenaran konsep agung ini kepada murid-muridNya. Di dalam Yohanes 6 kita membaca satu bacaan yang terjadi di dekat Laut Galilea ketika Yesus secara ajaib memberi makan 5,000 orang laki-laki plus perempuan dan anak-anak dengan dua ikan dan lima roti, yang kita pahami bahwa di sinilah banyak orang percaya kepada Dia.

Hari berikutnya, orang banyak itu mencari Dia dan mereka menemukan Dia di Kapernaum. Berbicara kepada mereka, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu, sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meteraiNya” (Yohanes 6:26-27).

Kemudian Yesus berkata berulang kali yang merujuk kepada DiriNya sebagai “roti hidup” – Dia yang akan memberikan hidupNya supaya Dia dapat menawarkan hidup yang kekal. Ajaran ini merupakan bayangan dan penjelasan atas lambang baru dari roti dan anggur yang akan Dia ajarkan untuk perayaan Paskah. 

Pada kejadian lain tidak lama sebelum penyalibanNya, Yesus membangkitkan sahabatNya Lazarus dari kuburnya. Sebelum menunjukkan keajaibanNya ini, Dia menjelaskan kepada Marta, saudara Lazarus, “Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati. Dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yohanes 11:25-26).

KeajaibanNya membangkitkan Lazarus kembali hidup dalam hidup lahiriah sungguh mengukuhkan kebenaran Allah bahwa Dia berkuasa atas kematian. Tetapi itu hanya penyingkapan skala kecil atas apa yang Yesus tawarkan kepada kita jika kita dengan sepenuh hati merespons kepada Dia. Daripada hanya hidup temporer dalam kehidupan jasmani, Allah menawarkan kita suatu hidup kekal selamanya!

Bagaimana Paskah mengingatkan kita akan pelajaran ini

Penyaliban Yesus adalah sebuah peristiwa di antara peristiwa-peristiwa yang paling genting di dalam sejarah! Hal itu memungkinkan kita untuk memperoleh pengampunan atas dosa-dosa kita dan menggenapi maksud tujuan Allah dalam menciptakan kita – untuk menjadi anggota-anggota kekal di dalam keluargaNya! Hal ini begitu penting sehingga Allah memerintahkan kita untuk merayakan kematian Yesus setiap tahunnya, dan Dia secara eksplisit memberikan instruksi bagaimana merayakan momen peringatan ini, yang disebut Paskah. Itu adalah perayaan pertama yang diperintahkan Allah kepada bangsa Israel untuk dirayakan, kemudian Yesus merayakannya bersama murid-muridNya dengan cara yang baru (Imamat 23:5; Markus 14:14).

Di dalam Perjanjian Lama, Allah menggunakan perayaan ini – hari ke-14 dari bulan pertama menurut tanggalan Ibrani, tanggalan Paskah yang di Perjanjian Lama ini dan hari pada saat Yesus disalibkan – untuk menyelamatkan orang Israel dari perbudakan. Allah memerintahkan orang Israel untuk menyapukan sedikit darah domba pada rumah mereka, yang merupakan sebuah tanda yang akan menyelamatkan mereka dari malaikat maut yang membunuh semua anak sulung di Mesir.

Tema penyelamatannya diteruskan hingga ke Perjanjian Baru dengan makna yang lebih besar (1 Korintus 5:7). Paskah Perjanjian Baru ini mempresentasikan ulang kematian Kristus, yang menyelamatkan kita dari dosa dan membuka jalan dan kesempatan untuk hidup kekal selamanya.

Dalam mengajar murid-muridNya bagaimana cara merayakan perayaan yang hening ini, Yesus mulai dengan membasuh kaki murid-muridNya (Yohanes 13:1-10). Melalui tugas yang sangat rendah ini Yesus memberikan contoh kerendahan hati, dan Dia memerintahkan kita untuk melakukan hal yang sama: “Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (ayat 15).

Kemudian Yesus memberikan kepada mereka roti tidak beragi untuk dimakan sebagai sebuah simbol dari dagingNya dan anggur untuk diminum sebagai sebuah simbol dari darahNya yang tercurah.

Dalam menjelaskan ajaran ini, Paulus memberitahukan jemaat-jemaat di Korintus: “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya, Ia memecah-mecahkannya dan berkata, ‘Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.’ Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata, ‘Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu. Perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya [yaitu, sekali setahun], menjadi peringatan akan Aku’” (1 Korintus 11:23-25). 

Orang Kristen yang terus setia untuk mengikuti ajaran Yesus dan teladan Jemaat Perjanjian Baru akan merayakan Paskah setiap tahun. Untuk pelajaran yang mendalam tentang Paskah dan perayaan-perayaan hari raya lain yang diperintahkan Allah, unduhlah buklet gratis kami yang berjudul From Holidays to Holy Days: God’s Plan for You.

Paskah menolong kita untuk merefleksikan kepada pelajaran-pelajaran yang kita pelajari dari penyaliban Kristus – langkah pertama yang vital di dalam rencana penyelamatan Allah. Jangan anda abaikan perayaan hari raya Kristen yang sering dilupakan ini – atau pengorbanan yang dilambangkan bagi anda, dan seluruh umat manusia!

Untuk pelajaran lebih lanjut tentang Paskah, bacalah juga artikel kami yang berjudul “Paskah: Apa yang Yesus Perbuat Bagi Anda?” dan “Passover Wine or Grape Juice?

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry