Menghadapi Orang-orang Sulit

Mereka ada di mana-mana: di jalan-jalan, di tempat kerja, di toko-toko penjualan bahan pangan, di gereja dan bahkan di dalam keluarga kita sendiri. Bagaimana kita merespons orang-orang sulit dengan cara yang alkitabiah? 

oleh Debbie Pierce

http://lifehopeandtruth.com/relationships/friendship/dealing-with-difficult-people/

Apabila kita membayangkan tipe pribadi yang sulit, kita akan segera mengatakan bahwa dia sok ngebos, kasar, sok tahu, culas, suka merengek, suka menghakimi. Ini semua predikat yang cocok untuk kita gunakan dalam mendeskripsikan dan mengategorikan mereka. Barangkali label ini telah digunakan pada diri kita sendiri. 

DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) memberikan beberapa label tambahan dan ini sering digunakan oleh penyedia layanan kesehatan, yakni: antisosial, terlalu terobsesi, kecintaan pada diri sendiri, agresif negatif.

Tetapi sayangnya, sementara mereka baik hati dalam hal memperlakukan anda, label penamaan orang dapat juga mencegah kita untuk memahami seseorang dengan benar.

Lihat manusianya

Manusia lebih daripada sekedar label yang menempel pada mereka. Label dapat mencegah kita dari pengenalan seseorang secara benar, dan dari pemahaman betapa uniknya dan kompleksnya dia sebagai manusia. Tidak ada dua orang yang sama, mereka juga tidak termotivasi atau terbentuk dengan cara yang sama.

Misalkan setiap orang yang anda kenal itu adalah teka-teki gambar yang anda harus jawab. Biasanya ketika menyatukan potongan-potongan gambar itu anda harus memiliki seluruh potongan gambar itu serta sebuah gambar utuhan sehingga anda dapat menyontoh bangun gambar itu. Akan tetapi apa yang akan terjadi jika anda hanya memiliki bangun gambarnya tetapi tidak memiliki potongan-potongan gambar itu secara lengkap? Dan apa yang akan terjadi apabila anda bahkan tidak tahu potongan yang mana yang hilang?

Ketika para ahli terapi mendapat klien baru, mereka mengajukan banyak pertanyaan sehingga mereka mendapatkan sebanyak mungkin potongan-potongan gambar teka-teki itu. Mereka  tidak ingin berasumsi apapun, dan mereka berusaha untuk bisa menempatkan bagian yang sulit pada suatu konteks yang berarti. Hal ini akan menolong mereka untuk memahami dan menaruh empati pada individu yang unik seperti orang-orang yang demikian.  

Akan tetapi, dalam hubungan-hubungan yang sifatnya pribadi, kita dihambat oleh norma sosial dan keinginan privasi seseorang. Apa yang pantas pada latar profesional, bisa menjadi buah bibir pada situasi lain.

Jadi bagaimana kita sunggguh-sungguh mengenal dan menghargai seseorang – terutama ketika orang itu adalah orang sulit di sekitar kita?

Hiduplah berdasarkan Kaidah Kencana

Kita memulainya dengan menyadari bahwa ada Satu yang telah memahami segala sesuatu pada diri setiap orang atau kita masing-masing. Allah melihat kita dengan gambar yang utuh; Dia memiliki seluruh potongan-potongan gambar kita; dan Dia sungguh memahami kita. KasihNya dan kepedulianNya kepada kita bukan karena kita saling akur dan harmonis. Dia mengasihi kita secara tulus meskipun pada bagian yang paling sulit pada kita, dan Dia menunjukkan kepada kita suatu teladan yang indah dan bagaimana melakukan teladan itu dengan orang lain (Roma 5:6-8).

Di dalam Injil Matius 7:12 Yesus menceritakan kita untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, ini dikenal sebagai Kaidah Kencana. Hal ini tentu tidak selalu mudah untuk kita lakukan, karena kecenderungan sifat kita ialah mendendam ketika kita disakiti oleh perkataan atau perbuatan orang lain. Kita mungkin akan berkata pada diri kita “fair is fair” yang artinya kejahatan dengan kejahatan; kebaikan dengan kebaikan.

Akan tetapi Kristen yang hakiki ialah bagaimana kita hidup di atas tabiat alami manusiawi kita. Itu berarti hidup sama seperti Yesus Kristus telah hidup, sebab Dia datang untuk menunjukkan kita suatu jalan yang lebih baik. Itulah sebabnya Dia mengatakan firman ini:

“Kamu telah mendengar firman, ‘Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.’ Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (Matthew 5:38-42).

Ini bukan berarti Allah bermaksud agar kita membiarkan seseorang mempermainkan kita atau memukuli kita, atau membiarkan seseorang mengambil milik kita. Bukan demikian! Dalam hal ini Dia hanya menjelaskan bahwa kecenderungan manusia adalah membalas dendam. Sifat alami manusiawi kita menganggapnya benar untuk “saling membalas” dendam terhadap seseorang yang menyakiti kita, atau memperlakukan kita dengan cara yang tidak kita inginkan. Padahal Alkitab mengajarkan kita untuk menempatkan dendam itu kepada Allah, yang selalu mengetahui apa yang terbaik (Roma 12:19).

ALLAH MENGASIHI KITA SEMUA, DAN DIA MENGHENDAKI KITA UNTUK MEMPERLAKUKAN ORANG LAIN SEBAGAIMANA DIA MEMPERLAKUKAN KITA

Berilah kepada orang lain apa yang TIDAK merupakan hak mereka

Apabila Allah hendak memberikan kita apa yang sudah merupakan hak milik kita, lalu apa yang akan kita terima? Karena kita semua manusia berdosa, dan upah yang pantas bagi kita ialah kematian (Roma 6:23). Akan tetapi Allah, di dalam kasihNya yang tak terselami itu, membayar upah dosa itu melalui pengorbanan AnakNya, Yesus Kristus. Dia memberikan kita masing-masing suatu kesempatan untuk mendapatkan hidup yang kekal pada saat yang tepat dan sempurna.

Allah mengasihi kita semua, dan Dia menghendaki kita untuk memperlakukan orang lain sebagaimana Dia memperlakukan kita. Itulah sebabnya Dia berkata, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu” (Lukas 6:27-28).

Dengan pertolongan Allah, keempat langkah ini – kasih, berbuat baik, memberkati dan berdoa – bisa kita lakukan, sesulit apapun seseorang itu.

Jangan menimbulkan kebencian

Kita masing-masing memiliki “ujung pemicu” yang, ketika kita tersulut, maka akan memperlihatkan yang terburuk pada kita. Ketika kita memahami ini pada seseorang, kita sebaiknya menghindari untuk tidak menekan “tombol pemicunnya.” Jangan terlibat dalam pertentangan atau perdebatan atau dalam soal-soal yang menghasut yang rentan untuk meledak (baca Timotius 2:23).

Kita sebaiknya memilih kata-kata kita dengan hati-hati.

Setiap orang mengetahui bahwa anda tidak menyiramkan bensin pada api untuk memadamkannya – anda akan menuai ledakan atau memperbesar api di tangan anda! Akan tetapi berapa kali kita menyulut dan memperburuk keadaan dengan kata-kata kita? Amsal 15:1 berkata, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” Dan di dalam Roma 12:18 Paulus menuliskan, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.”

Alihkanlah topik pembicaraan bila perlu. Jika itu tidak berhasil, barangkali anda dapat dengan santun minta pembicaraan itu dihentikan. Pada kesempatan lain barangkali perlu berterus terang dan berkata, “Mari kita membicarakan yang lain.”

Lihatlah pada cermin

Pengamat yang cekatan telah mencatat bahwa kita semua adalah orang-orang sulit setidaknya pada saat tertentu.

Alasan mengapa orang mengecoh kita, kadang-kadang itu bisa kita temukan dengan cara mengintrospeksi  diri kita dan motivasi kita sendiri. Beberapa orang, paling tidak sekilas, mungkin mengingatkan kita akan luka yang pernah kita alami di masa lalu, lalu membangkitkan rasa pilu itu. Adalah mudah bagi kita untuk bersifat defensif, sampai pada suatu saat kita sadar dan bertanya pada diri kita mengapa saya bereaksi semacam itu. Dengan menyadari hal demikian, kita barangkali akan mampu memeriksa diri kita akan kekurangan kita, dan hal ini akan menolong kita untuk mengatasinya di masa depan.

Selalu lihat sisi terbaik setiap orang

Ingat, anda tidak memiliki setiap potongan teka-teki pada orang ini. Ada banyak hal tentang orang ini yang anda tidak tahu dan/atau anda tidak memahaminya. Tetapi Allah mengetahuinya. Dia dapat menolong anda untuk tetap baik hati dan sabar hingga anda mengetahuinya untuk mengapresiasi dia. 

Di dalam 1 Korintus 13:4 kita membaca bahwa kasih itu sabar dan baik hati. Secara alami kita tidak memiliki kualitas ini, tetapi Allah memilikinya. Berdoalah kepada Dia dan minta Dia untuk menyingkapkan kepada anda apa yang anda perlu ketahui – untuk menolong anda tetap bersahabat dengan orang ini, untuk memperlakukan dia dengan sabar dan dengan kebaikan yang Allah pakai untuk memperlakukan kita masing-masing.

Bertindaklah realistis

Beberapa orang benar-benar hancur, dan bahwa kehancuran itu sering berdampak pada orang lain. Dalam hal ini, barangkali luka-luka mereka tidak akan tersembuhkan lagi selama hidup mereka, yang berarti bahwa kita harus menerima kenyataan dan keterbatasan siapa mereka itu.

Akan tetapi meskipun mereka itu tidak mungkin pernah berubah, kita bisa, dengan mengubah sudut pandang kita terhadap mereka dan cara kita merespons mereka. Kita sebaiknya memikirkan cara lain daripada cara yang biasanya kita pakai untuk berinteraksi dengan mereka. Adakah cara yang berbeda, yang lebih lembut untuk merespons? Dapatkah kita menggantikan pembenaran diri dengan  empati? Kadang-kadang sikap sopan santun barangkali itu yang terbaik yang bisa kita lakukan, dan itu jauh lebih baik daripada dendam. Sikap sopan santun adalah cara terbaik dalam bergaul dengan orang-orang sulit.

Apabila semua usaha anda gagal, jauhilah dia

Akan ada saatnya ketika kita harus menjauhkan diri dari beberapa orang – mereka yang karena alasan apapun selalu ingin mengintimidasi atau bahkan menyakiti anda. Memperkecil hubungan atau memutuskannya samasekali barangkali pilihan terbaik dalam situasi tertentu. Allah tidak menghendaki kita untuk tetap dan terus bertahan pada hubungan yang disalahgunakan (Amsal 22:24; juga bacalah artikel kami yang berjudul “Persahabatan yang Beracun?”)

Akan tetapi, Dia ingin agar kita belajar mengembangkan pikiranNya untuk menolong kita dalam berinteraksi dengan setiap orang dengan cara yang lebih saleh di masa depan.

Tanpa diragukan, orang bisa saja sulit untuk kita hadapi, dan bagaimana mereka menjalani hidup mereka mungkin akan mendatangkan sesuatu yang terburuk bagi kita. Kita tentu perlu menyadari bahwa reaksi alami yang biasanya kita gunakan tidak selalu yang terbaik. Allah memberi kita suatu cara yang lebih baik – yang lebih ramah, lebih sabar dan lebih kasih – untuk berinteraksi dengan orang lain. Itu adalah jalanNya, dan itu perlu menjadi cara kita juga.

Untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana belajar memperlakukan orang lain sebagaimana yang diajarkan Allah, periksalah artikel kami yang berjudul “Bagaimana Menjadi Seorang Tetangga yang Baik” dan artikel lain pada seksi “The Fruit of the Spirit.”

Apakah anda punya pertanyaan?

Ajukanlah kepada kami.

 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry