Pelajaran-pelajaran Pernikahan Modern Dari Abraham dan Sara

oleh David Treybig

Ayat-ayat kutipan artikel ini diambil dari Alkitab versi: Indonesian Modern Bible, dan juga dari Indonesian Terjemahan Baru.

Apa yang disingkapkan Alkitab tentang pernikahan Abraham dan Sara? Apa yang dapat kita pelajari tentang pernikahan Kristen dari pilar (bapa dan ibu) iman ini?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Abraham dan Sara dikenal dari contoh dan ketekunan iman mereka. Sebagaimana Ibrani 11 mencatat: “Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya” (ayat 8). Dan, “Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia” (ayat 11).

Apa yang barangkali orang tidak tahu tentang Abraham dan Sara ialah bahwa hubungan mereka juga memberikan pengertian yang mendalam dan yang berguna terhadap pernikahan orang Kristen saat ini.

Untuk mengawalinya kita harus mengakui bahwa Alkitab ditulis sebagai panduan untuk pernikahan, dan Alkitab tidak banyak mencatat kisah-kisah tentang pernikahan pasangan suami istri yang dimuat di dalamnya. Dari beberapa pernikahan yang kita baca tentang Firman Elohim, pada umumnya tidak ada dokumentasi tentang pemikiran mendalam, pertentangan dan tantangan dalam membangun pernikahan mereka menjadi pernikahan yang berhasil.  

Tetapi apabila kita mempelajari tentang perasaan, masalah dan stres yang merupakan bagian semua pernikahan, pernikahan Abraham dan Sara barangkali yang paling nyata disingkapkan di dalam Alkitab. Tentu tidak mengejutkan bahwa laki-laki yang dirujuk di dalam ayat Suci Alkitab sebagai “bapa” dari mereka yang memiliki iman di dalam Elohim (Roma 4:16) dan istri setianya memberikan pelajaran-pelajaran bagi pernikahan Kristen hari ini.

Stres pernikahan bagi Abraham dan Sara

Bila kita berpikir bahwa pada masa kehidupan Abraham dan Sara dulu, mungkin kita tergiur bahwa kehidupan saat itu begitu sederhana dan tidak ada masalah dan stres. Tetapi hal itu jelas tidaklah demikian. Meskipun zaman, adat-istiadat dan keadaan berubah, semua pernikahan menghadapi cobaan dan kesulitan.

Menurut Alkitab, pernikahan Abraham dan Sara mengalami situasi yang sulit dan stres yang berpusar dalam dua masalah utama: Ketakutan Abraham terhadap dirinya akan dibunuh orang karena kemolekan istrinya dan juga lamanya penantian mereka akan janji Elohim bahwa mereka akan mendapat anak.

Bacaan Alkitab tentang masalah ini tidak berarti Abraham dan Sara lebih dibenarkan. Dan bahwa Alkitab tidak meniadakan dosa dan kesalahan orang saleh sebab kita juga dapat belajar dari contoh-contoh ini.

Abraham dan Sara berdusta dalam pernikahan mereka

Ayat-ayat Alkitab menyingkapkan bahwa pada dua peristiwa terpisah dimana Abraham takut dan merasa akan dibunuh supaya raja mengambil Sara menjadi istrinya (Kejadian 12:10-13; 20:2). Untuk melindungi dirinya, Abraham berkata dan meyakinkan Sara agar dia mengatakan bahwa dia adalah saudaranya. Secara teknis, Sara memang saudara tirinya. Sebagaimana Abraham menjelaskan “Lagipula ia benar-benar saudaraku, anak ayahku, hanya bukan anak ibuku, tetapi kemudian ia menjadi isteriku” (Kejadian 20:12).

Tetapi sebagian dari faktanya ialah bahwa Abraham dan Sara menunjukkan ketidakjujuran ketika mereka pergi ke Mesir dan kemudian ke Gerar. Mereka dengan sengaja tidak jujur untuk maksud menipu.  

Dalam kedua situasi ini Elohim mengasihi Abraham dan Sara. Meskipun mereka berbuat demikian, Dia melindungi mereka dengan keajaibanNya dan mengizinkan mereka kembali ke Kanaan. 

Kita tidak diberitahu lebih lanjut bagaimana kejadian ini berdampak terhadap hubungan mereka. Pada kejadian ini Abraham jelas tidak mempercayai Elohim untuk perlindungan, dan tentu Sara sangat mudah untuk meragukan karakter Abraham, suaminya, dan dia bisa saja meragukan entah Abraham sungguh-sungguh peduli dengan dia.

Abraham dan Sara stres atas penantian anak yang dijanjikan

Setelah mengikuti panggilan Elohim untuk pergi ke tanah Kanaan, satu di antara masalah besar yang di hadapi Abraham dan Sara ialah kenyataan bahwa mereka tidak mempunyai anak. Mereka hidup berkelimpahan dan harta mereka banyak – saat itu mereka mempunyai ratusan hamba, ternak mereka melimpah, juga perak dan emas (Kejadian 14:14; 13:2). Tetapi Sara mandul, dan mereka tidak memiliki keturunan untuk meneruskan harta warisan itu.

Sementara Abraham menyesali situasinya kepada Elohim, Tuhan itu menjanjikan Abraham bahwa dia akan mendapat anak dan mempunyai keturunan yang tidak terhitung banyaknya (Kejadian 15:2-5). Abraham percaya kepada Elohim tetapi semakin lama semakin sulit untuk mempertahankan imannya terhadap janji itu sebab tahun demi tahun berlalu tetapi Sara masih belum juga mengandung.

Setelah tinggal 10 tahun di tanah Kanaan – dan masih belum punya anak – Sara berpikir bahwa Elohim mungkin akan memberkati mereka melalui seorang anak dari hambanya perempuan. Pada saat itu, adat kebiasaan berlaku bagi orang yang mandul untuk mendapat anak ahli waris dari seorang ayah melalui seorang hamba perempuan.

Oleh karena itu Sara menyuruh Abraham tidur dengan hambanya orang Mesir itu, Hagar, untuk melihat entah mereka bisa mempunyai anak melalui Hagar (Kejadian 16:1-3).

Abraham setuju dengan rencana itu. Alasan manusiawi mereka terlaksana, meskipun hal itu tidak sejalan dengan iman terhadap Elohim. Tidak berselang lama, Hagar mengandung dari Abraham.

Sara sakit hati dengan Hagar dan Abraham

Apa yang tidak diantisipasi Abraham dan Sara ialah pergolakan emosi yang akan terjadi ketika Hagar mengandung. Kemudian Sara berkata kepada suaminya, “Penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu; akulah yang memberikan hambaku ke pangkuanmu, tetapi baru saja ia tahu, bahwa ia mengandung, ia memandang rendah akan aku; TUHAN kiranya yang menjadi Hakim antara aku dan engkau” (ayat 5).

Ayat ini merupakan satu di antara ayat-ayat bacaan yang paling emosional di dalam Alkitab tentang pernikahan. Sara menjadi marah dalam situasi itu dan merasa bahwa hal itu menjadi tanggung jawab suaminya untuk menyelesaikannya. Meskipun Hagar seorang hamba, yang sedang mengandung anak Abraham, yang tentu telah memberikan dia status baru tetapi bahwa legalitas tidak berdaya untuk mempertahankannya. Sara mengharapkan suaminya untuk menempatkan Hagar pada statusnya sebagai hamba dan menghentikan ketidaksopanan Hagar terhadap dia. Sepertinya Sara memperkecil tanggung jawabnya sendiri atas apa yang sedang terjadi – pada hal kenyataannya ialah bahwa dia sendirilah yang menganjurkan perlakuan itu kepada suaminya.   

Lalu Abraham mengembalikan tanggung jawab itu kepada Sara dan berkata: "Hambamu itu di bawah kekuasaanmu; perbuatlah kepadanya apa yang kaupandang baik." Lalu Sara menindas Hagar, sehingga ia lari meninggalkannya (ayat 6).  

Tetapi Hagar mendengarkan perintah dari Tuhan untuk kembali dan tunduk kepada majikannya (Sara). Namun beberapa tahun kemudian, kehadiran Hagar dan anak yang dia lahirkan, yakni Ismail, menimbulkan gejolak emosi lagi antara Abraham dan Sara.

Abraham dan Sara mendapat anak yang dinamai Ishak

Setelah Abraham berusia 99 tahun (13 tahun setelah kelahiran Ismail dan saat itu Abraham masih berusia 86 tahun, Kejadian 16:16) Elohim menampakkan diri kepada Abraham dan berkata kepada dia bahwa kira-kira setahun lagi dia dan Sara akan mendapat seorang anak (Kejadian 17:19, 21). Beberapa waktu kemudian setelah itu, Tuhan menampakkan diri lagi kepada Abraham dan Sara dan mengukuhkan janjiNya bahwa Sara akan segera mengandung dan melahirkan seorang anak (Kejadian 18:10).

Di dalam Kejadian 21:1-7 kita membaca kelahiran Ishak, sebuah nama yang ditentukan Elohim sebelumnya yang artinya tawa/tertawa. Sebagaimana Sara mengucapkannya setelah melahirkan anak yang dijanjikan itu, “Elohim telah menjadikan aku tertawa; dan setiap orang yang mendengar akan tertawa dengan aku … Siapakah yang tadinya dapat mengatakan kepada Abraham, bahwa Sara akan menyusui anak? Namun, sekarang aku telah melahirkan seorang anak laki-laki pada masa tua Abraham” (ayat 6-7).

Barangkali saat itu merupakan saat yang paling membahagiakan di dalam pernikahan Abraham dan Sara. Setelah kira-kira 24 tahun tinggal di Kanaan, janji Elohim akhirnya menjadi kenyataan. Mereka mendapat anak kandung yang melaluinya janji-janji Elohim kepada mereka dan keturunan mereka akan diteruskan.

Abraham dan Sara keduanya merasa kesal.

Ketegangan dengan Hagar dan anaknya, Ismail, terjadi sekali lagi pada saat perjamuan besar yang diadakan Abraham saat Ishak disapih. Awalnya pesta itu penuh kegembiraan bagi Sara tetapi tidak lama berselang, pesta itu berubah menjadi pengalaman yang menyakitkan bagi Sara ketika dia melihat Ismail mengejek Ishak pada pesta itu.

Kemudian Sara meminta agar Abraham, mengusir mereka dan dia berkata, “Usirlah hamba perempuan itu beserta anaknya, sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak” (ayat 10).

Saat itu Abraham juga merasa sedih. Sebagaimana di ayat 11 kita baca, “dan hal itu merisaukan Abraham, sebab Ismael juga anaknya.”

Meskipun Ishak merupakan anak yang dijanjikan bagi Abraham, Ismail juga adalah anaknya, dan mengusir dia dan ibunya tentu memilukan hatinya. Permintaan Sara itu sungguh menyusahkan hati Abraham.

Setelah Elohim berkata kepada Abraham untuk sebaiknya mendengarkan Sara dan bahwa Dia juga akan membuat Ismail menjadi bangsa yang besar, Abraham setuju untuk mengusir Hagar dan Ismail.

Alkitab tidak menjelaskan seperti apa keadaan pernikahan Abraham dan Sara setelah Hagar dan Ismail pergi. Tetapi kita dapat mengasumsikan bahwa keadaan pernikahan mereka tenang dan  menikmati tahun-tahun akhir kehidupan mereka membesarkan Ishak.

Pelajaran-pelajaran untuk pernikahan Kristen hari ini

Apabila kita merefleksikannya pada pernikahan Abraham dan Sara, ada beberapa pelajaran penting yang berlaku untuk pernikahan Kristen hari ini. Mari kita periksa berikut ini:

  1. Mempunyai masalah dalam pernikahan, itu hal yang wajar. Kita semua adalah individu yang unik yang memiliki perspektif yang berbeda-beda. Bahkan orang-orang yang saleh, seperti Abraham dan Sara pun, mengalami stres di dalam pernikahan.
  2. Menyalahkan orang lain merupakan suatu kesalahan yang mudah untuk dilakukan. Sara menyalahkan Abrahan begitu saja karena persoalannya dengan Hagar, dan sepertinya Abraham merasa bahwa Sara terlalu berlebihan ketika dia meminta Abraham untuk harus mengusir Hagar dan Ismail.
  3. Mempertahankan iman kita kepada Elohim sulit ketika Elohim tidak menjawab doa kita segera seperti yang kita harapkan. Abraham and Sara benar-benar diuji pada situasi ini.  
  4. Suami perlu belajar kapan sebaikya berkata, “Ya, sayang” dan kapan berkata, “Tidak, sayang.” Persetujuan Abraham terhadap Sara untuk mendapat anak melalui Hagar ada kemiripannya dengan kejadian di Taman Eden dimana Adam setuju memakan dari buah terlarang itu. Daripada mengatakan, “Tidak, Sara. Elohim akan memberikannya pada waktu menurut kehendakNya,” Abraham mengikut saja dengan ide yang salah itu. 
  5. Para istri perlu menyadari bahwa suami-suami, seperti Abraham, sepertinya masih cenderung membuat kesalahan sementara mereka belajar/berusaha memberikan kepemimpinan yang baik di dalam keluarga seperti kepemimpinan Kristus terhadap Jemaat. Hai Istri, jika suamimu sedang berjuang untuk bertumbuh dalam hubungannya dengan Elohim, sabarlah dengan dia. Hai suami, anda juga perlu belajar bersabar terhadap istrimu.
  6. Memiliki gol kerohanian yang sama adalah penting untuk menjalani sebuah pernikahan yang baik. Meskipun stres, Abraham dan Sara tetap bersatu dalam usaha mereka untuk keluar dari kepercayaan dan adat-istiadat paganisme dan iman mereka bertumbuh di dalam Tuhan.

Tidak diragukan bahwa Abraham dan Sara mengalami stres dalam pernikahan mereka. Tetapi mereka berusaha menyelesaikan masalah mereka dan memberikan teladan iman bagi orang Kristen hari ini.

Untuk pelajaran lebih lanjut, bacalah artikel kami tentang pernikahan. Silakan menggunakan kolom search dengan kata kunci “pernikahan.”

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry