Peran Laki-laki

oleh Tom Clark dan Mary Clark

http://lifehopeandtruth.com/relationships/family/role-of-men/

Apa sebenarnya peran laki-laki di dalam keluarga dan di tengah masyarakat? Sejarah menyingkapkan berbagai macam peran yang ekstrim mulai dari ayah diktator hingga ke ayah canggung yang dimainkan di film sitcom [komedi situasi] 

Masyarakat memiliki bermacam-macam ide yang berbeda tentang apa sebenarnya peran laki-laki. Tetapi apa yang dikehendaki sang Pencipta kita yang agung dan penuh kasih?

Pada mulanya …

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melihat kembali ke awal mulanya, yakni pada waktu penciptaan Adam dan Hawa. Di dalam kitab Kejadian 2 kita melihat bahwa Adam diciptakan sebelum Hawa. Adam diberi tugas untuk menamai segala makhluk hewan. Di sini nampaknya jelas bahwa maksud penugasan itu setidak-tidaknya ialah untuk memberi dia pemahaman sehingga dia menyadari bahwa tidak satupun di antara hewan-hewan itu yang pantas sebagai “penolong yang sepadan dengan dia.”  Setiap makhluk hewan itu memiliki pasangan masing-masing; tetapi Adam pada saat itu sendirian, hanya dia sendiri yang berjenis manusia (ayat 20).

Setelah dia selesai menamai seluruh hewan-hewan itu, Allah menciptakan satu berkat khusus untuk dia – seorang perempuan yang dibentuk dari tulang rusuknya sendiri. Hubungan di antara mereka jelas dan tidak terbantahkan. Mereka berdua adalah satu kesatuan – mereka menciptakan sebuah keluarga, sebuah unit yang lengkap (ayat 24).

Pengajaran di dalam Perjanjian Baru

Di dalam Perjanjian Baru, yakni di Efesus 5:23, rasul Paulus secara spesifik menguraikan kehendak Allah tentang peran kepemimpinan di dalam keluarga. Di sini kita melihat bahwa suami adalah kepala dari istri sama seperti Kristus yang adalah kepala Jemaat. Ayat ini menetapkan satu standar yang sangat penting bagi laki-laki untuk diemban!

Secara spesifik, apa standar peran laki-laki menurut kehendak Allah? Ayat 25 memberikan dua poin penting. Yang pertama ialah bahwa Kristus “mengasihi” Jemaat. Ada banyak definisi kasih. Tetapi kasih yang dimaksudkan di sini ialah kasih Kristus kepada Jemaat yang “unselfish loyal and benevolent concern for the good of another” [tulus dan setia serta penuh kebajikan bagi kebaikan orang lain”] (Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary).

Poin kedua (yakni kasih Kristus yang tidak terbatas) ialah bahwa Dia mengorbankan diriNya bagi Jemaat. Apa yang dideskripsikan di dalam ayat ini ialah kewenangan sebagai kepala keluarga dan komitmen untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Yesus Kristus mendemonstrasikan bahwa kepemimpinan yang sesungguhnya dan cinta kasih yang murni sejati adalah pengorbanan diri untuk memberikan apa yang dibutuhkan mereka yang dipimpin dan dikasihi.

Suami diharapkan menjadi pemeran kewenangan yang penuh kasih sayang dan tidak  seorang otoriter yang kasar. Dan sebagai seorang pemeran kewenangan yang penuh kasih sayang, suami memberi pertanggungjawaban kepada Allah akan kesejahteraan keluarganya – kebutuhan fisik, moral, spiritual dan emosional. 

Bukti selanjutnya tentang peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dapat kita baca di 1 Timotius 3.  Bacaan ini (ayat 1 sampai 13) membicarakan tentang kualifikasi “bishops” [penilik jemaat] dan “deacons’ [diaken] – yakni pemimpin   kumpulan Jemaat. Standar ini merupakan standar pengukur bagi kehidupan semua orang Kristen. Dalam konteks ini, ayat 4 dan 5 menyatakan bahwa seorang pemimpin hendaknya seorang yang cakap “mengepalai keluarganya” dan bahwa anak-anaknya menghormati dia.

Dengan pengertian dan hormat

Rasul Petrus menambahkan kepada pemahaman kita di 1 Petrus 3:7. Di sini para suami dituntut untuk “hidup bijaksana dengan istri mereka sebagai kaum yang lebih lemah, menghormati mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu anugerah kehidupan.” Ada tiga poin dijelaskan di sini:

1. Suami harus hidup bijaksana dengan istrinya dan senantiasa bersama dia. Hal ini barangkali bisa jadi komentar lucu oleh banyak suami, karena ada laki-laki merasa bahwa mereka tidak akan pernah “memahami” istri mereka. Menyedihkan memang bahwa banyak suami-suami dan istri-istri tidak menggunakan waktu untuk berbagi atau bahkan mencoba mengenal satu sama lain untuk “memahami” apa yang dipergumulkan pasangannya atau apa masalah yang dihadapinya. One-to-one quality time together [waktu berkualitas untuk duduk bersama] sangatlah penting, tanpa mengingat sudah berapa lama mereka menjadi suami istri.

2. Bagaimana dengan ucapan “sebagai kaum yang lebih lemah” di dalam bacaan ini? Perempuan biasanya lebih kecil dan tidak sekuat laki-laki secara fisik. Jadi Allah mengarahkan para suami untuk menjaga istri mereka, membimbing mereka, mengasihi dan melindungi serta memberikan ketulusan hati kepada mereka. Ketika Allah menciptakan perempuan, Dia sebetulnya berkuasa membuat dia sekuat dan setinggi laki-laki, tetapi Dia tidak melakukan itu. Sebaliknya, Dia memberi laki-laki tanggung jawab untuk melindungi, merawat dan menghormati dia.

3. Bagian ketiga dari bacaan ini ialah “sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu anugerah kehidupan.” Alkitab versi terjemahan Moffatt menjelaskan demikian, “You must honor them as heirs equally with yourselves of grace of life.” [Kamu harus menghormati mereka sebagai pewaris anugerah kehidupan bersama kamu]. Potensi menjadi anak-anak Allah di dalam KerajaanNya sama, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.

Sementara Allah menetapkan peran tertentu bagi laki-laki dan peran lainnya bagi perempuan di dalam keluarga kita, tidak ada disebutkan di dalam Alkitab yang mengindikasikan bahwa Allah lebih berkenan kepada salah satu gender [jenis kelamin], atau bahwa satu di antaranya memiliki keunggulan di dalam Kerajaan Allah yang akan datang. Hubungan antara suami dan istri pada zaman sekarang ini hendaknya harmonis dan saling mengasihi dan menghormati, dengan menyadari bahwa keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk mewarisi kehidupan yang kekal.

Peran ayah

Ketika seorang laki-laki menikah dan memperoleh anak, dia memasuki fase kehidupan yang berbeda. Oleh karena itu kita perlu bertanya: Apa tanggung jawab laki-laki terhadap anak-anaknya?

Ada pepatah kuno dalam hal menjadi seorang ayah yang bunyinya sebagai berikut: “Pemberian terindah seorang ayah kepada anak-anaknya ialah mengasihi ibu mereka.” Keluarga dimulai ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan bersatu sebagai suami istri. Keluarga itu bertumbuh dari kebersamaan mereka berdua, dan hubungan pernikahan mereka harus tetap mempertahankan landasan keluarga itu.

Dari masa kecil hingga bertumbuh dewasa, anak-anak hendaknya merasa nyaman dengan hubungan dekat dan yang penuh kasih sayang yang mereka lihat antara ibu dan ayah mereka. Hal ini memberikan stabilitas kepada keluarga dan kredibilitas kepada ayah sembari dia terus mengajar dan melatih anak-anaknya dengan baik.

Tanggung jawab mengajar

Dan mengajar anak-anaknya merupakan tanggung jawab besar seorang ayah. Terutama mengajar mereka di jalan Allah. Di dalam kitab Ulangan 6:7 dan 11:19 kita membaca bahwa pengajaran orangtua hendaknya merupakan proses berulang-ulang dan berkesinambungan: “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”

Sementara ada saat-saat yang lebih formal untuk mengajar anak-anak anda, indikasi dari bacaan ini ialah bahwa pengajaran anak hendaknya merupakan bagian  dari kehidupan normal. Ayah hendaknya hidup di jalan Allah kemudian dia mengajarkannya kepada anak-anaknya segala sesuatu yang dia perbuat dan katakan sepanjang hari!

Allah memuji Abraham karena teladannya yang baik dan bagaimana dia memimpin keluarganya. Allah tahu bahwa Abraham akan “memerintahkan anak-anaknya dan keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan” (Kejadian 18:19).

Tanggung jawab ini berlaku baik bagi ayah maupun ibu dan memerlukan kebersamaan mereka untuk menggunakan waktu dengan anak-anak mereka setiap hari. Bagi ayah, menggunakan waktu untuk mengajar, membimbing, bermain dan bekerja dengan anak-anaknya harus merupakan suatu prioritas. Tanggung jawab ini adalah pemberian Allah. Interaksi penuh kasih sayang dan teladan positif ini adalah nilai yang lebih berharga daripada apa yang bisa dibayangkan seorang laki-laki.

Tidak membangkitkan kemarahan

Efesus 6:4 memberikan instruksi kepada para ayah untuk tidak membangkitkan amarah di dalam hati anak-anak mereka. Ayat ini tidak berarti bahwa seorang ayah semata-mata tidak pernah menyebabkan anak-anaknya merasa jengkel atau bahwa dia sebaiknya tidak mengoreksi mereka. Tidak mungkin kita mengajar seseorang tanpa memberikan koreksi!

Barnes’ Notes on the Whole Bible memberi penjelasan dari ucapan “Janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”: “Yakni, melalui perintah yang keterlaluan; melalui kekerasan yang tidak pantas; melalui manifestasi amarah. Jadi kendalikanlah mereka, dan hukumlah mereka – apabila hukuman diperlukan – sehingga mereka tidak akan kehilangan kepercayaan di dalam diri anda, tetapi akan selalu mengasihi anda. Rasul Paulus di sini telah mengindikasikan bahaya di mana  para orangtua cenderung mudah terekspos pada saat mengendalikan anak-anak. Hukuman itu ialah sesuatu yang membuat mereka jera; sesuatu yang membuat mereka merasa bahwa orangtua berada di bawah pengaruh amarah, dan anak-anak perlu menyadari itu.

Sementara para orangtua memiliki wewenang, dan sebaiknya memelihara wewenang itu terhadap anak-anak mereka. Tetapi cara yang hendak mereka gunakan untuk mengatur anak-anak mereka ialah dengan kelemahlembutan dan pengertian. Hal ini akan mengikuti sikap peran dan pengertian yang lemah lembut seperti yang ditunjukkan Kristus kepada murid-muridNya dan bagaimana Dia mengendalikan kita. 

Memenuhi kebutuhan keluarga

Juga tidak kalah penting untuk kita catat bahwa seorang ayah hendaknya mengambil pimpinan untuk mencukupkan kebutuhan keluarganya (1 Timotius 5:8). Faktor usia atau keterbatasan fisik mungkin bisa menjadi kendala bagi seorang ayah dalam bekerja . Akan tetapi, dengan usaha terbaiknya, seorang ayah diperintahkan Allah untuk melakukan seluruh kemampuannya untuk memastikan keluarganya memiliki kebutuhan dasar hidup: pangan, sandang, dan papan.

Sebagian besar keluarga di dunia Barat jauh lebih mampu daripada sekedar mencukupi kebutuhan dasar keluarga, dan itu memang pantas mendapat pujian. Perintah alkitabiah ialah bahwa para ayah harus mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarganya, namun kita paham bahwa hal itu tidak dimaksudkan untuk  segala sesuatu yang kita ingini.

Peran spesifik bagi laki-laki

Adakah peran-peran yang dititahkan Allah khusus untuk laki-laki? Sama seperti Allah telah menetapkan suami-suami menjadi kepala keluarga, Dia juga telah menentukan bahwa kepala keluarga rohani (kumpulan jemaat) adalah laki-laki. Kita menemukan di 1 Korintus 14:34 bahwa perempuan tidak untuk berkhotbah dalam kebaktian gereja.

Sementara Alkitab itu jelas mengatakan bahwa berkhotbah di depan publik dan peran pelayan jemaat harus diemban oleh laki-laki, itu bukan berarti bahwa setiap laki-laki harus berkhotbah atau mengajar firman Allah pada kumpulan Jemaat. Paulus mencatat di Efesus 4:11 bahwa karunia-karunia atau peran-peran yang berbeda diberikan kepada orang yang berbeda.  Suatu kumpulan jemaat memerlukan seorang pembicara publik atau pemimpin, tetapi itu juga memerlukan banyak pemain peran lainnya “dibelakang layar” untuk membantu melayani orang dalam berbagai kapasitas.

Kita melihat hal ini sejajar dengan situasi di dalam rumah tangga kita bahwa hanya ada satu “kepala” keluarga, dan Allah telah menetapkan itu kepada suami dan ayah. Akan tetapi, anggota-anggota lain di dalam keluarga dapat memenuhi berbagai tugas untuk melayani keluarga itu dan melihat bahwa kebutuhan-kebutuhan rumah tangga itu terpenuhi. Maksud tujuan Allah di sini ialah agar semua anggota bekerja sama secara harmonis dan bersatu demi kebaikan keluarga, meskipun hanya ada satu “kepala.”

Penerapannya bagi perjaka dan duda

Bagaimana peran-peran ini dapat diterapkan kepada perjaka dan duda? Seorang laki-laki yang belum menikah atau yang sudah menjadi duda masih dianggap sebagai “kepala” rumah tangganya. (Terkecuali jika dia masih hidup bersama ayah ibunya di dalam keluarganya, dia sebaiknya tunduk kepada orangtuanya sebagai kepala di rumah – sebagaimana seorang perempuan muda yang masih tinggal bersama ayah dan ibunya.) Dalam hal seorang duda, barangkali masih ada anak-anak di rumahnya atau bahkan anak-anak yang mulai beranjak dewasa yang masih memerlukan bimbingan dari seorang ayah. Dia barangkali perlu membuat penyesuaian-penyesuaian dalam memenuhi tanggung jawabnya, tetapi dia tetap memiliki kewajiban untuk melayani keluarganya sebaik mungkin.

Dalam hal seorang laki-laki perjaka, masih ada kesempatan bagi dia untuk melayani dan memberikan pimpinan rohani di dalam keluarga besarnya, di kelompok masyarakat dan di kumpulan jemaatnya. Prinsip-prinsip keteladanan dan  kesalehan serta pengajaran yang benar tetap berlaku meskipun dia tidak mempunyai pasangan hidup atau keluarga sendiri.

Hormat dan tanggung jawab

Allah telah memberikan kepada laki-laki suatu peran yang unik dan khusus di dalam keluarga. Fungsinya di dalam keluarga ialah untuk merefleksikan pribadi Yesus Kristus sendiri. Dia diwajibkan untuk memelihara dan merawat setiap anggota keluarganya – dengan menggunakan teladan Kristus yang lemah-lembut dan penuh kasih sayang sebagaimana Dia menjaga dan mengasihi JemaatNya.

Betapa itu suatu kehormatan dan tanggung jawab besar untuk memiliki peran ayah dan suami!

Bacalah lebih lanjut informasi pada bagian ini, yakni tentang menjadi suami dan ayah di dalam artikel kami yang berjudul “Bagaimana Memiliki Kebahagiaan dalam Pernikahan” dan “Pedoman Praktis untuk Membesarkan Anak.”

Apakah anda mempunyai pertanyaan?

Ajukanlah kepada kami.

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry