“Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi”
Posted on August 23, 2020
oleh John Foster and Cecil Maranville
https://lifehopeandtruth.com/change/christian-conversion/go-and-sin-no-more/
Yesus tidak menghukum perempuan yang kedapatan berbuat zinah, tetapi Dia menyuruh dia, dan, semua orang yang telah diampuni dosanya, untuk tidak berbuat dosa lagi.
Kisah yang sangat populer tentang wanita yang kedapatan berbuat zinah itu dapat kita baca di Yohanes 8:1-11. Beberapa pemimpin orang Yahudi membawa perempuan yang berzinah itu kepada Yesus.
Pemimpin Yahudi ini terus mengikuti Yesus di sepanjang pelayananNya, mereka mencobai Dia dengan pertanyaan jebakan. Tujuan mereka adalah untuk menjebak Dia untuk mengatakan sesuatu yang bisa mereka gunakan untuk menyalahkan Dia sebagai ajaran palsu (ayat 6).
Yesus menunduk dan mulai menulis di tanah. Kita tidak tahu apa yang Dia tulis, tetapi Dia menjawab pertanyaan yang diajukan tentang perempuan itu dengan mengatakan, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (ayat 7). Dia ternyata membuat hati orang-orang itu tertusuk, sehingga satu persatu pergi meninggalkan Yesus dan perempuan itu.
Hukum taurat memang mengatakan bahwa apabila seorang terdapat berzinah dia harus dihukum mati (Imamat 20:10). Yesus Kristus tidak berkata atau tidak melakukan sesuatu yang mengindikasikan bahwa hukum terhadap perzinahan itu tidak lagi berlaku. Dengan memiliki kuasa untuk mengampuni dosa (bandingkan dengan Matius 9:6), Dia mengampuni perempuan itu dan bukan menghukum dia dengan hukuman mati. Dia menambahkan suatu seruan yang sangat penting: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang” (Yohanes 8:11).
Dalam dunia sekarang, banyak yang merasa bingung tentang peran hukum Elohim di dalam kehidupan Kristen. Seringkali orang percaya bahwa sekali darah Kristus menghapuskan dosa mereka (dan sungguh benar diampuni – 1 Yohanes 1:7) mereka tidak lagi tunduk pada hukum itu. Mereka sepertinya percaya bahwa mereka bisa hidup kembali seperti kehidupan sebelum mereka diampuni.
Tetapi maksud sebenarnya bukanlah demikian. “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa” (1 Yohanes 2:1). Adalah kehendak Elohim bahwa orang Kristen tidak berbuat dosa, yakni, mereka tidak melanggar hukum yang terdapat pada 10 PerintahNya.
Pengampunan memerlukan sebuah perubahan hidup
Perhatikanlah sebuah analogi yang menyangkut pengampunan dan ketaatan pada situasi duniawi. Kita ambil sebuah contoh seorang remaja dewasa yang terlibat melakukan sesuatu yang ilegal dan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan orangtuanya kepada dia. Untuk contoh ini, mari kita bayangkan dia menghadiri sebuah pesta dimana narkoba diperjual-belikan dan digunakan. Lalu polisi datang menggrebek dan remaja itu ditahan. Ayahnya harus memberi jaminan supaya anak itu tidak jadi ditahan. Dengan demikian, remaja ini terlepas dari proses hukum; tetapi dia telah menyebabkan kekecewaan, aib dan malu yang dia datangkan terhadap keluarganya.
Dia menyadari betapa serius masalah itu akibat kesalahannya, dia telah terguncang ketakutan dengan pengalamannya di dalam penjara. Dia dengan air mata meminta pengampunan kepada orangtuanya. Orangtuanya berkata bahwa mereka mengasihi dia dan mengampuni dia, dan semua orang dalam keluarga itu memeluk dia.
Sekarang, apakah pengampunan orangtuanya berarti si remaja itu bebas dari kewajiban nilai-nilai hidup keluarganya? Apakah si anak remaja ini berarti bebas untuk kembali ke pesta narkoba itu lagi? Tidak. Kembali kepada perbuatan-perbuatan yang dia telah sesali dan mohon pengampunan, akan sangat melukai orangtuanya. Itu berarti mengkhianati mereka; itu akan membuat penghinaan terhadap pertobatannya dan pengampunannya.
Kita tidak bebas dari menaati hukum-hukum Elohim
Tapi sangat disesalkan bahwa doktrin palsu – yakni doktrin yang menentang akal sehat seperti yang diilustrasikan contoh di atas – telah berhasil menyusup ke dalam Kekristenan modern. Yakni yang idenya mengklaim bahwa pengampunan Kristus atas dosa-dosa masa lalu kita membebaskan kita dari kewajiban menaati Elohim dalam kehidupan selanjutnya. Dalam situasi kehidupan sehari-hari, kita tidak akan pernah membenarkan ini. Namun, banyak yang menganut ide ini bahwa Bapa sorgawi kita tidak menuntut apa-apa dari kita setelah Dia mengampuni pelanggaran kita atas nilai-nilaiNya – perintah-perintahNya.
Perintah-perintah Elohim itu adalah hukum yang menempati urutan lebih tinggi daripada hukum-hukum lokal atau internasional. Akan tetapi, banyak orang percaya bahwa setelah diampuni atas pelanggaran hukum-hukum yang kudus itu, yakni yang menuntut kematian Kristus membebaskan mereka untuk hidup dalam kehidupan apapun yang mereka pilih.
Mereka mengabaikan pernyataan sederhana yang terdapat di Roma, dalam konteks penjelasannya bahwa Kristus membayar penalti kematian yang seharusnya kita tanggung, bahwa “hal ini dilakukanNya untuk menyatakan kebenaranNya sebab Dia telah membiarkan dosa-dosa yang terjadi waktu lalu pada masa kesabaranNya” (Roma 3:25).
Dengan kata lain, sama seperti para orangtua mengampuni anak-anak remaja mereka seperti contoh di atas, Elohim menawarkan pengampunan atas dosa-dosa kita di masa lampau. Tetapi, sebagaimana halnya dengan contoh remaja di atas, orang Kristen tidak boleh lagi hidup dalam dosa setelah diampuni.
Bagaimana jika seorang percaya berbuat dosa lagi?
Beberapa orang mengajarkan suatu “teologi yang samar-samar” bahwa mereka yang telah “menerima pengorbanan Kristus” tidak akan berdosa lagi – bukan karena dengan tulus menaati hukum Elohim, tetapi – kata mereka – karena sifat mereka telah berubah. Idenya ialah bahwa orang-orang yang telah diampuni tidak akan ingin berdosa lagi dan itu merupakan inti dari ajaran palsu ini.
Baik teladan Perjanjian Baru maupun pengalaman praktis pada zaman modern ini menunjukkan bahwa ide ini adalah salah. Yang benar ialah bahwa orang-orang percaya yang dosanya telah diampuni masih punya kecenderungan untuk berbuat dosa. “Jika kita berkata bahwa kita tidak mempunyai dosa, kita menipu diri sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1 Yohanes 1:8). Pada bagian akhir Roma 7, rasul Paulus mengakui kuasa dosa yang dia pergumulkan dalam hidupnya bertahun-tahun setelah pertobatannya.
Semua orang – termasuk orang-orang percaya yang telah menerima pengampunan dosa melalui pertobatan, dan menerima darah Yesus dan baptisan – masih hidup di dunia yang penuh dengan iming-iming dosa. Mereka masih menjadi target serangan musuh utama rohani, Setan, yang “mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1 Petrus 5:8).
Apakah orang-orang percaya berdosa lagi setelah mereka diampuni pada saat dibaptis atas dosa-dosa mereka di masa lalu? Ya, mereka masih berdosa. Pengorbanan Kristus masih tetap penuh kuasa untuk mengampuni dosa-dosa di masa depan.
Beranggapan bahwa menaati hukum Elohim itu tidak lagi diperlukan menunjukkan suatu penghinaan terhadap harga yang sangat mahal yang dibayar untuk memperoleh pengampunan dosa dan penghapusan penalti mati itu – melalui penyaliban Putra Elohim – Yesus Kristus. Intinya ialah: Orang yang tidak bertobat atas dosa-dosanya tidak memperoleh pengampunan. Ketika seorang percaya berdosa, dia harus secara pribadi bertobat kepada Elohim dalam doa atas dosa-dosanya. Dia harus dengan rendah hati dan tulus memohon pengampunanNya; dan Elohim, Bapa pengasih kita, berjanji untuk mengampuni kita melalui pertobatan kita yang tulus (1 Yohanes 1:9).
Jangan tunjukkan hinaan terhadap pengampunan Elohim
Ketaatan merupakan kewajiban orang percaya. “Sebab kita adalah buatan Elohim yang telah diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang telah dipersiapkan oleh Elohim sebelumnya, agar kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). “Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1 Yohanes 2:6).
Berlaku sebaliknya akan menunjukkan penghinaan terhadap pengampunan yang telah dengan murah hati Bapa kita berikan kepada kita! Hal itu juga akan menunjukkan penghinaan terhadap nilai-nilai keluargaNya, yang dinyatakan di dalam 10 Perintah Elohim. Juga, dengan mengira bahwa ketaatan kepada hukum Elohim tidak lagi diwajibkan, akan menunjukkan penghinaan terhadap harga yang sangat mahal yang dibayarkan lunas untuk memperoleh pengampunan atas penalti mati karena dosa-dosa kita di masa lampau – penyaliban Putra Elohim – Yesus Kristus.
Perhatikan Ibrani 2:1-3: “Oleh sebab itu, kita harus lebih memberi perhatian kepada kebenaran yang telah kita dengar, supaya kita tidak hanyut terbawa arus. Sebab jika firman yang telah diucapkan melalui para malaikat tetap berlaku, dan setiap pelanggaran dan ketidaktaatan menerima balasan yang setimpal, bagaimanakah kita akan luput jika menyia-nyiakan keselamatan yang demikian besar? Keselamatan ini awalnya difirmankan oleh Tuhan, dan diteguhkan kepada kita oleh mereka yang telah mendengarkan-Nya.”
Jika kita mengira bahwa kita tidak wajib menaati hukum Tuhan, itu berarti kita “mengabaikan” keselamatan kita, sebab pemikiran semacam itu membawa kita kepada dosa lagi. (Dosa adalah pelanggaran hukum Elohim, sesuai FirmanNya di 1 Yohanes 3:4).
Hukum-hukum Elohim itu positif dan baik – semuanya itu seperti pagar pembatas atau garis pembatas pada jalan-jalan raya. Semuanya menunjukkan jalan yang menuntun kita agar jangan jatuh ke jurang! Semuanya itu menunjukkan jalan untuk hidup yang menjadikan kita dan memampukan kita untuk mengasihi Elohim dan sesama kita (dari orangtua, ke pasangan kita, hingga ke tetangga kita). Semuanya itu menolong kita untuk tidak menyakiti diri kita sendiri dan orang lain. Semuanya itu menunjukkan jalan satu-satunya yang dapat menuntun kepada rumah-tangga yang damai, masyarakat yang damai dan bangsa yang damai.
Ya, kita wajib menaati hukum-hukum Elohim; kita wajib melakukan apa yang baik bagi kita!
Silakan membaca artikel yang berjudul “Apa itu 10 Perintah Elohim?” Kemudian bacalah artikel-artikel yang mengutip ayat-ayat Perjanjian Baru yang digunakan untuk argumentasi kedudukan 10 Perintah itu, dimulai dari artikel yang berjudul “Hukum Taurat dan Kasih Karunia: Yesus vs Paulus?” (artikel ini akan di muat di situs ini).
Pastikan membaca ayat-ayat yang dikutip di dalam artikel ini, dan biarkan Firman Tuhan berbicara untuk hal yang serius ini. Sebab ajaran palsu telah begitu banyak dikabarkan dan ditulis, yakni ajaran yang bertentangan dengan ajaran Alkitab. Oleh karena itu, sangatlah memerlukan waktu dan kesabaran untuk mempelajari kebenaran tentang masalah penting ini. Kumpulan artikel kami pada situs ini juga akan menjadi suatu pertolongan.
This article was translated from http://lifehopeandtruth.com