Pernikahan dan Faktor Fondasi: Komitmen – Part 2

oleh Karen Meeker 

https://lifehopeandtruth.com/relationships/blog/commitment-marriage-foundation-2/

Komitmen dalam pernikahan memenuhi ikrar pernikahan

Membangun sebuah fondasi yang berkualitas untuk pernikahan memerlukan komitmen yang sungguh-sungguh. Ini berarti harus melaksanakan ikrar pernikahan itu secara serius – tetapi ini sesuatu yang sangat langka kita saksikan sekarang ini.

Dalam artikel “Pernikahan dan Faktor Fondasi, Part 1,” saya menceritakan beberapa pengalaman saya dengan fondasi rumah yang bocor dan analogi yang saya lihat dengan fondasi pernikahan – dan bagaimana membangun sebuah pernikahan di atas fondasi yang kuat.

Fondasi adalah dasar yang di atasnya fisik bangunan selanjutnya didirikan. Ketika dua insan saling mencintai, mereka telah sampai pada titik dimana mereka sudah siap untuk berkomitmen satu sama lain, pertama pada bentuk tunangan dan kemudian dalam ikatan ikrar pernikahan. Komitmen ini adalah dasar yang menjadikan pernikahan.

Ikrar pernikahan

Saya masih ingat sewaktu melihat calon menantu perempuan kami berdiri di dekat jendela, dia mengenakan gaun pengantin, ia sangat khusyuk dengan sebuah buku kecil warna hitam. Saat itu hanya beberapa menit sebelum acara pemberkatan, dan dia membaca dan menghafalkan ikrar pernikahan itu yang sebentar lagi dia akan ucapkan di hadapan banyak saksi.

Dari percakapan terdahulu saya tahu bahwa dia telah merenungkan bacaan di dalam Alkitabnya tentang suami dan istri dan komitmen. Tidak diragukan lagi bahwa dia berkeinginan untuk menikah dalam pernikahan yang bertahan selamanya dan hanya dapat dipisahkan oleh kematian.

Dan ketika saya mendengar anak kami mengulangi ikrar pernikahannya sambil menatap mata yang besinar dari pengantin perempuan, saya tahu bahwa dia juga, sedang berjanji untuk setia selama hidupnya.  

Statistik yang menyedihkan

Tetapi yang menyedihkan ialah bahwa statistik menunjukkan bahwa ide komitmen pernikahan yang bertahan sepanjang hidup telah disalahpahami. Entah bagaimana pernikahan telah menjadi sesuatu yang tidak begitu modis lagi.

James Q. Wilson, penulis buku yang berjudul The Moral Sense, berkata, “Sistem hukum yang kontemporer memandang orang sebagai individu yang mandiri yang diberkati dengan hak-hak dan memasuki kontrak yang sesungguhnya. Liberalisasi hukum tentang pernikahan dan perceraian timbul hanya dari pandangan seperti itu. Pernikahan, setelah sakramen pemberkatan, telah menjadi sebuah kontrak di mata hukum yang dengan mudah dinego, dinego ulang, atau dibatalkan. Dalam beberapa tahun, permintaan perceraian yang tanpa masalah menjadi mungkin, setelah ribuan tahun dimana gagasan seperti itu akan menjadi hal yang biasa” (dikutip di William J.Bennett’s The Index of leading Cultural Indicators, 1994).

Komitmen pernikahan

Alanson B. Houghton, di dalam bukunya yang berjudul Partners in Love (1988), setuju bahwa pernikahan adalah suatu kontrak yang meliputi komitmen-komitmen berikut ini:

  • Anda menyerahkan diri anda kepada insan lain, yang berarti anda memberikan sebagian dari diri anda kepada orang itu, dan dia, sebaliknya, memberikan dirinya kepada anda.
  • Anda berkomitmen untuk kesejahteraan satu sama lain – peduli terhadap pasangan anda sebagaimana anda peduli terhadap diri anda sendiri.
  • Anda berkomitmen untuk bekerja bagi pernikahan anda, meningkatkan upaya, waktu, pengertian dan maaf.
  • Anda berkomitmen pada diri sendiri “demi apa yang lebih baik dan buruk,” sebuah tonggak dan petunjuk terhadap ukuran integritas anda.
  • Anda berkomitmen pada diri sendiri untuk menghadapi sakit dan masalah kesehatan pada umumnya
  • Anda berkomitmen untuk “mengasihi dan menghargai” satu sama lain hingga kematian memisahkan anda.

Houghton juga mengutip Dr. Diogenese Allen yang mempertahankan prinsip pernikahan yang tersudutkan ini.

“Sekarang ini kita terus-menerus disuguhkan pandangan bahwa komitmen itu tidak indah … bahwa komitmen yang bertahan sepanjang hidup dalam pernikahan adalah sebuah penangguhan sewenang-wenang dari ajaran agama zaman dulu. Sebenarnya, apapun arti pernikahan itu, itu bukanlah sewenang-wenang.  …. Sebuah pernikahan yang tulus murni adalah sebuah janji iman siap untuk memasuki masa depan, dengan penuh keyakinan bahwa pasangan kita akan setia sampai mati. Itu juga merupakan keikhlasan kita untuk menerima iman orang lain dengan rendah hati dan ini berarti iman pengabdiannya sepanjang hidupnya.”

Komitmen adalah “adukan semen” yang mengeratkan hubungan pernikahan.

Inilah bagian ke-2 di dalam tiga seri artikel yang membahas Pernikahan dan Faktor Fondasi. Untuk membaca seri pertama silakan menelusurinya pada situs ini.

Pelajarilah lebih lanjut prinsip-prinsip alkitabiah untuk sebuah hubungan pernikahan yang bahagia di dalam artikel pada bagian “Marriage” di situs kami Lifehopeandtruth

 

 

 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry