Seperti Anak-anak Kecil: Pelajaran dalam Kehidupan

Sebagai orangtua, kita pada umumnya disibukkan dengan tanggung jawab mengajar anak-anak kita. Akan tetapi mungkinkah kita bisa kehilangan pelajaran-pelajaran berharga yang mereka ajarkan kepada kita? 

Oleh Karen Meeker

http://lifehopeandtruth.com/relationships/parenting/like-little-children/

Ada jenjang hierarki yang pantas dalam kehidupan dan saya sangat setuju bahwa orangtualah yang selayaknya mengajar anak-anaknya agar mereka menjadi orang yang bertanggung jawab dan menjadi orang dewasa yang berhasil. 

Tetapi mungkinkah juga bahwa anak-anak bisa menjadi guru bagi kita?  

Apabila saya merenungkan pengalaman di masa silam, saya sering teringat bahwa aksi-aksi anak-anak itu telah memberi saya pelajaran-pelajaran hidup yang tidak bisa kita temukan di dalam buku. Izinkanlah saya berbagi pengalaman dengan anda tentang lima peristiwa yang menyentuh hati dan pikiran saya.

1. Percaya

Salah satu kenangan saya yang paling indah ialah tentang sebuah ember besar isi lima galon, tanah liat merah Oklahoma,  pipa air kebun, dan benda kerajinan kedua anak kecil kami. Kala itu di pagi hari musim panas terik, dan kedua anak ini merencanakan satu aksi. Mereka buru-buru sarapan dan segera melangkah ke luar lewat pintu belakang, langsung menuju garasi lama. 

Anak kami yang laki-laki mengambil sekop kecil, dan memberi ember itu kepada adiknya, dan keduanya langsung menuju kebun kakeknya. Dengan penuh semangat, mereka mengisi ember itu dengan tanah liat, dan kemudian mereka bergerak menuju tempat berikutnya – pipa air kebun. Dengan cepat memutar kerannya dan pancaran air itu melembutkan segumpal tanah liat mereka, dan sebentar kemudian mereka mengaduknya dengan bahan campuran kental yang agak berminyak dan kemudian membentuk manusia menurut rupa mereka.

Karena saya sangat penasaran, saya tanya sedang apa mereka. Apa jawab mereka? Mereka sedang membuat seorang manusia – namanya Muddy.

Kami sebelumnya telah membaca kisah penciptaan Adam, dan mereka sangat antusias mencoba mereplika kejadian itu. Tetapi sekuat apapun mereka mencobanya, Muddy tetap sebuah bentukan dalam keadaan tak bernyawa dan dalam rupa yang tak jelas.

Pelajaran: Kita tidak perlu mempertanyakan apa yang ada dalam pikiran anak-anak. Mereka percaya apa yang Alkitab katakan. Apa yang mereka pelajari ialah bahwa penciptaan dari yang tidak ada menjadi ada, hanya Allahlah yang bisa melakukannya.

Apa yang saya pelajari di sini ialah bahwa pemahaman tentang siapa Allah itu bisa dimulai dari sejak dini dari hal-hal kecil, tetapi itu hanya akan berkembang melalui pelajaran-pelajaran dari pengalaman dan pemaparan.

2. Kemurahan hati

Beberapa tahun yang lalu salah satu dari cucu kami ingin hadir di kebaktian khusus di jemaat kami. Koleksi persembahan syukur akan diadakan, dan dia ingin ikut serta. Mula-mula dia mencetak di komputer sebuah surat yang ditujukan kepada Allah, dan surat itu dia akhiri dengan ucapan, “I love you” [Saya mengasihimu”] Kemudian dia melipatnya dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam amplop khusus, dan menyimpannya di tempat khusus  sebelum waktunya, dan dia akan memasukkan satu dollar ke dalamnya.

Dan pada saat acaranya tiba, keluarga tersebut berangkat menuju tempat ibadah dan tiba-tiba dia menangis. Ternyata, dia lupa menaruh uang ke dalam amplop khususnya itu! Ibunya mencoba menenangkan dia untuk tidak usah bingung. Ibunya berkata bahwa dia tidak punya satu dollar uang kertas, tapi punya nilai yang sama dalam bentuk empat koin.

Air mata cucu kami ini bahkan semakin deras mengalir sembari ia berkata pada ibunya bahwa persembahannya harus uang kertas. Ternyata apa yang ada dalam pikiran anak kecil ini ialah bahwa Allah lebih menyukai uang kertas daripada koin, dan dia tidak mau selain uang kertas.

Setibanya mereka di aula, menantu kami bertemu dengan seorang teman jemaat yang sudi menukar koin-koin itu dengan uang kertas, sambil dia mendengarkan masalahnya. Dengan gembira cucu kami memasukkan uang itu ke dalam amplopnya dan memberikannya sebagai persembahan khusus kepada Allah dengan surat cinta-kasihnya melalui kotak persembahan, dan  saya hanya dapat berpikir bahwa Allah tersenyum pada saat itu.

Pelajaran: Pengalaman ini menguatkan hati saya bahwa memberi persembahan khusus kepada Allah bukanlah suatu pekerjaan yang sembrono. Itu memerlukan rencana dan tujuan – dan itu harus dari hati yang tulus.

3. Iman

Nyonya J. dan doa nampaknya tidak terpisahkan – dia senantiasa berdoa. Dia selalu menerima permohonan doa dari anak-anaknya, cucu-cucunya dan sekarang dari cicit-cicitnya.

Baru-baru ini dia menerima telepon dari cucunya yang kehilangan perhiasan yang amat  mahal  – mata berlian cincin tunangan. Dia dan anak perempuannya yang masih kecil, Alex, sudah mencarinya selama berhari-hari, dengan menggunakan senter, dengan susah payah meneliti segala sudut rumah mereka, tapi tidak juga ditemukan. Akankah Nyonya J. berdoa untuk itu? Tentu.

Tidak ada yang terlalu kecil atau sepele – dan tidak ada orang yang terlalu muda atau terlalu tua – untuk mendapatkan perhatian Allah.

Hari berikutnya si balita Alex datang mengunjungi buyutnya dan dia menceritakan kepada buyutnya itu betapa sedih ibunya dan betapa dia putus asa untuk menemukan permata tulen itu. “Maukah Buyut berdoa agar Ibu bisa mendapatkan berlian itu?” Alex memohon dengan serius. 

Nyonya J. mengangkat dia ke pangkuannya; mereka menundukkan kepala dan berdoa dengan apa yang mereka sebut doa “singkat.”

Sehari kemudian, Nyonya J. menerima telepon dan mendengar kata-kata yang dia tunggu-tunggu: “Nenek, kami telah menemukan berlian itu!” Nyonya J. menjawab, “Tentu! Allah sedang membangun iman percaya pada anak kecilmu.”

Nyonya J. kemudian berkata pada saya bahwa Allah mendengar dan menjawab doa itu, karena berlian itu ditemukan kira-kira satu inci dari lobang pembuangan air di kamar mandi. Itu bisa hanyut kapan saja dan tidak seorangpun yang bisa menyelamatkan. Namun Allah mendengar dan, tepat pada waktunya, Dia menjawab doa singkat dari seorang balita dan buyutnya. 

Pelajaran: Iman tidak hanya dapat memindahkan gunung, iman dari seorang balita dan buyutnya telah membawa kepulihan dari sesuatu yang hilang. Tidak ada yang terlalu sepele – juga tidak ada yang terlalu muda dan terlalu tua – untuk mendapatkan perhatian Allah.

4. Optimisme

Pada awal tahun 1950an Amerika kelabakan menghadapi wabah penyakit mengerikan yang tak tersembuhkan – polio. Selama tahun terburuk penyakit ini mewabah, 3,000 orang meninggal dan ribuan orang lainnya lumpuh – kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.

Pada saat itu saya bertemu Linda, seorang gadis kecil, muda dan jelita bermata biru. Sebuah iron lung, yakni alat bantuan pernafasan untuk korban penyakit polio, terpasang pada tubuhnya. Melalui alat ini dia terbantu untuk menghirup dan mengeluarkan nafas sesuai dengan ritma melalui tekanan udara yang diatur alat itu. Dia hanya bisa berbicara pada saya ketika alat ini memaksa dia untuk mengeluarkan nafas, jadi percakapan kami berlangsung sesuai ritma alat ini. Pada saat itu saya masih muda dan menjadi seorang relawan yang bekerja pada sebuah rumah sakit (mereka menamakan kami sebagai “candy stripers”), dan salah satu tugas saya ialah bekerja pada bangsal anak-anak secara teratur, khususnya bangsal Linda.

Alat bantuan pernafasan Linda bisa dilepas untuk waktu singkat setiap hari, dan inilah kesempatan kami bercakap-cakap. Kadang-kadang kami bercakap-cakap tentang pasien-pasien di bangsal lain, dan terkadang kami bercakap-cakap tentang pribadi.

Sekali waktu dia meyakinkan saya bahwa apabila dia sudah  pulih kembali, dia akan menjadi penari balet. Matanya berkelip dengan penuh kegembiraan sembari dia menjelaskan angan-angannya. Padahal hanya ada satu dari bagian tubuhnya yang bisa digerakkan secara bebas – yaitu jari kelingkingnya. Selain kelingking itu badannya sudah lumpuh.  

Pelajaran: Bila saya merenungkan tentang Linda, saya merasa bahwa seburuk apapun penderitaan yang kita alami, kita masih bisa menaruh satu pengharapan dan optimisme. Dan saya juga berdoa dengan tulus untuk Kerajaan Allah segera datang dan penyakit mengerikan seperti itu akan lenyap (Yesaya 35:5-6).

5. Kerendahan hati

Wajar saja bahwa murid-murid Yesus selalu menyamakan Dia dengan kuasaNya. Bagaimanapun juga, coba bayangkan mujizat yang mereka saksikan – salah satu contoh, Yesus menyembuhkan orang sakit seketika, mengusir setan-setan, mengendalikan alam dan menenangkan badai dan banyak lagi. Bahkan mereka juga disuruh Yesus untuk melakukan hal yang sama (Matius 10).

Apa saja yang berkenaan dengan Tuan mereka, itu berarti kuasa dan otoritas terhadap segala tantangan yang Dia perlihatkan melalui bermacam-macam keajaiban. Dan pada akhirnya mereka sangat berharap akan sambutanNya di dalam Kerajaan Allah yang Ia nubuatkan melalui kuasa dan kekuatan, bersama mereka di sisiNya. 

Apa yang mereka gagal pelajari ialah bahwa mereka tidak memahami motivasi yang sesungguhnya dari Yesus – yakni hasratNya untuk melayani umat manusia, dan tidak untuk dilayani (Markus 10:45). Memang tidak mengherankan, bahwa murid-muridNya  akhirnya saling beradu pendapat tentang siapa yang paling tinggi menduduki jabatan – tentang siapa yang paling besar di dalam Kerajaan Sorga (Matius 18:1). Pada saat itulah mereka memetik pelajaran nyata.

“Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata, ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam namaKu, ia menyambut Aku’” (ayat 2-5).

Coba bayangkan, kira-kira apa yang ada dalam pikiran murid-murid itu ketika mereka mendengar perkataan Yesus tentang menjadi seorang anak kecil – mereka ini, seperti Yakobus dan Yohanes (“Anak-anak gemuruh,” Markus 3:17), Petrus dan, bahkan Yudas – semuanya memiliki semangat dan kemauan keras.

Apa yang bisa kita katakan tentang seorang anak kecil? Dia tidak punya status. Dia tidak punya kuasa. Seorang anak kecil tidak punya kesombongan, ambisi atau tipu muslihat. Sesungguhnya segala sesuatu yang dimiliki anak kecil, ialah belajar, percaya dan tunduk, yang tentu merupakan tujuan bicara Yesus.

Itu benar-benar suatu pengajaran bagi mereka!

Pelajaran: Belajar memiliki kerendahan hati seorang anak kecil terhadap Allah adalah pelajaran agung, dan itu memerlukan waktu sepanjang hayat untuk menguasainya.

“Maka datanglah orang-orang membawa anak-anaknya yang kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka. Melihat itu murid-muridNya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata, ‘Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaKu, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah’” (Markus 10:13-16; Lukas 18:15-17).

Untuk pelajaran lebih lanjut tentang bagaimana menjadi anak-anak Allah, bacalah artikel kami yang berjudul “Children of God.”

Apakah anda punya pertanyaan.
Ajukanlah kepada kami.

 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry