Bercerai dan Menikah Lagi Menurut Alkitab

oleh Greg Sargent

http://lifehopeandtruth.com/relationships/marriage/divorce-and-remarriage-in-the-bible/

Allah merancang pernikahan dan menciptakan hukum rohani yang mengatur pernikahan itu, juga perceraian dan pernikahan kembali. Apa yang dikatakan Alkitab kepada kita tentang topik penting ini?

Pernikahan diberikan kepada manusia pada saat penciptaan. Pernikahan adalah suatu penyatuan alami dan institusi illahi – yakni suatu perjanjian rohani untuk seumur hidup di hadapan Allah.

Orang Kristen tidak diwajibkan menikah; tetapi jika mereka menikah, mereka terikat pada hukum rohani Allah yang mengatur pernikahan itu sendiri. Hukum dan ajaran ini juga mengatur pemutusan ikatan pernikahan atau perceraian, yang memang sangat menyedihkan bahwa masalah ini terlalu sering terjadi. Oleh karena itu, perceraian dan pernikahan kembali bagi orang Kristen harus berjalan sesuai dengan arahan Alkitab. 

Pedoman alkitabiah 

Pernikahan itu dirancang oleh Allah. Itu jauh melampaui derajat manusia dan merupakan  cerminan  hubungan antara Yesus Kristus dengan Jemaat (Efesus 5:22-23).

Pada waktu penciptaan, Allah berfirman, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja; Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Dan selanjutnya Alkitab mengajarkan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (ayat 24).

Maleakhi 2:13-16 meneguhkan ajaran tersebut bahwa Allah menghendaki hubungan pernikahan ini menjadi suatu perjanjian kekal: “Dan inilah yang kedua yang kamu lakukan: Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan; oleh karena Ia tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya, ‘Oleh karena apa?’ Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dari istri seperjanjianmu.

“Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan Roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. ‘Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel; juga terhadap orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan,’ firman TUHAN semesta alam. ‘Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat.’”

Allah dengan jelas menyatakan bahwa Dia membenci perceraian. Kita tidak boleh beranggapan bahwa Dia telah berubah dan merasa bahwa aturan perceraian di zaman sekarang ini berbeda dengan perceraian di zaman Maleakhi dulu.

Ketika Yesus Kristus ditanya apakah perceraian dan pernikahan kembali diperbolehkan dalam situasi yang bagaimanapun, Dia menjawab pertanyaan itu dengan mengajukan pertanyaan, “Tidakkah kamu baca bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,’ dan firmanNya, ‘Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging’?” (Matius 19:4-5). Dan kemudian Yesus menyatakan, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (ayat 6). 

Perjanjian pernikahan itu merupakan kesepakatan bersama untuk direkatkan menjadi satu (“disatukan”) tanpa ada maksud untuk memutuskan hubungan itu di kemudian hari. Kristus menegaskan hal ini di dalam Matius 19:3-6 bahwa pernikahan itu ialah suatu komitmen yang harus dipertahankan seumur hidup.

Laki-laki dan perempuan yang memasuki pernikahan harus menyadari bahwa, selain ikrar yang diucapkan pada waktu mereka dibaptis, pernikahan ialah salah satu langkah yang paling penting dan serius yang mereka pernah jalani. Allah memerintahkan suami untuk menjaga dan menyayangi istrinya (Efesus 5:29); Dia sangat membenci perceraian. Idealnya ialah bahwa opsi untuk bercerai dan menikah lagi sebaiknya tidak pernah terpikirkan. Dan sebagaimana kita baca di dalam kitab Maleakhi, pernikahan tanpa perceraian merupakan satu kunci untuk membesarkan anak-anak yang “saleh.”

Memang semua pasangan suami istri akan mengalami perbedaan pendapat di dalam keluarga mereka; namun, masing-masing pasangan perlu belajar bagaimana menyelesaikan masalah perbedaan pendapat itu secara hormat dan bijak. Memang terlalu sering terjadi bahwa pasangan suami istri terlalu gampang menyerah dan memilih jalur yang dianggap mudah, yakni bercerai dan menikah lagi dengan orang lain sambil berpikir bahwa itulah cara menuju kebahagiaan. 

Akan tetapi bercerai dan menikah lagi dengan orang lain justru akan berakibat fatal terhadap kehidupan rohani yang bersangkutan, karena tindakan ini adalah perzinahan – meski ada satu dua kasus yang tidak, dan itu merupakan pengecualian. Sebagaimana Lukas 16:18 menjelaskan: “Setiap orang yang menceraikan istrinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”

Diperbolehkan untuk bercerai

Meskipun Allah menghendaki bahwa pernikahan itu harus bertahan sampai mati, Kristus memahami bahwa perceraian dan menikah lagi akan mungkin terjadi. Kehendak Allah itu memang jarang menjadi pedoman hidup manusia. Umat manusia, yang memang tidak memiliki akses kepada Allah. Mereka mengabaikan Allah dan ajaranNya. Allah memang mengizinkan manusia untuk mengadakan pertimbangan mengenai pernikahan, perceraian dan pernikahan kembali berdasarkan tatacara Perjanjian Lama. Di dalam kitab Ulangan 24:1 kita menemukan bahwa Musa mengizinkan perceraian dalam beberapa kasus tertentu:

“Apabila seorang laki-laki mengambil seorang istri dan menikahinya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.”

Firman Allah di dalam Matius 19 kita membaca kehendak Allah terhadap pernikahan dan mengapa Ia memperbolehkah pertimbangan untuk bercerai. “Kata mereka kepadaNya, ‘Jika demikian apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberi surat cerai jika orang menceraikan istrinya?’ Kata Yesus kepada mereka, ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu, barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah’” (ayat 7-9).

Allah menghendaki pernikahan itu bertahan sampai mati. Penyebab mengapa tidak demikian ialah karena laki-laki dan perempuan memiliki “kedegilan” hati. Sebab tanpa Roh Allah, laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak akan pernah punya rasa takut akan Allah untuk menuruti perintahNya, juga tidak punya hati untuk berbelas kasihan mengampuni orang yang berbuat salah, meskipun itu pasangannya sendiri.

Sejak penciptaan, Allah selalu berkehendak agar pernikahan itu hendaknya bertahan seumur hidup. Akan tetapi Perjanjian Baru memang menunjukkan suatu keadaan di mana terdapat suatu masalah pernikahan – entah orang tidak lagi memahaminya atau menyelesaikannya secara sempurna (Matius 19:9; Matius 5:31-32). Dalam keadaan seperti itu, perceraian dan pernikahan kembali diperbolehkan tanpa melanggar hukum Allah. Pengecualian ini disimpulkan sebagai akibat percabulan dan pemberdayaan. 

Pernikahan dan perubahan hidup

Manusia telah membuat pilihan yang salah, dan seringkali dampaknya sangat signifikan dan serius terhadap kehidupan mereka. Tetapi Allah, dalam belas kasihanNya, telah membuat ketetapan resolusi yang agung terhadap dosa manusia melalui pengorbanan Yesus Kristus. Jika seseorang telah bertobat dan menjadi orang percaya, maka anak-anaknya dan pasangannya yang tidak seiman dengan dia – asalkan pasangan itu tetap ingin bertahan untuk hidup bersama dan tidak menentang kepercayaan pasangannya itu – akan dikuduskan, yakni kudus dan spesial di mata Allah (1 Korintus 7:14).

Baptisan, yang diselenggarakan setelah pertobatan, membawa pengampunan bagi orang-orang percaya dan membebaskan mereka dari dosa yang dahulu. Dosa-dosa mereka yang dahulu, yang menyangkut pernikahan mereka, tidak diperhitungkan lagi, seperti mereka diperhitungkan terhadap dosa lain (Roma 6:1-7). Baptisan menggambarkan kematian manusia lama, oleh karena itu, Paulus menyatakan, “Sebab siapa yang telah mati telah bebas dari dosa” (ayat 7). Jadi mereka yang telah bercerai dan yang telah menikah lagi sebelum baptisan tidak diharuskan untuk meninggalkan pasangannya yang sekarang. Hal ini berlaku juga bagi orang-orang pribadi yang menduda atau menjanda akibat perceraian. Pada saat mereka dibaptis, mereka bebas dari dosa yang mengikat karena perceraiannya. Dan apabila mereka memilih untuk menikah lagi, mereka tidak melanggar hukum.
  
Baptisan menandai suatu permulaan hidup baru. Orang yang baru bertobat mengucap syukur di awal hidup barunya “karena rahmatNya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati” (1 Petrus 1:3). Dosa yang dahulu sudah diampuni. Oleh karena itu, orang yang baru bertobat diperkenankan dalam status pernikahannya yang sekarang – entah itu seorang yang telah menikah lagi atau duda atau janda akibat perceraian.

Jika suami atau istri dari seorang percaya meninggal, maka orang yang ditinggalkan itu tidak diwajibkan menikah lagi. Akan tetapi apabila seorang Kristen ingin menikah, maka ia sebaiknya menikah dengan seorang anggota jemaat yang merupakan tubuh Kristus (1 Korintus 7:39-40).

Bayangan kehidupan rohani dan konseling

Pernikahan merupakan bayangan dari Kerajaan Allah. Karena pernikahan itu adalah perjanjian sementara yang hanya berakhir pada kematian, ia memiliki arti yang jauh lebih penting, sebab pernikahan itu dirancang untuk melambangkan hubungan kekal antara Kristus dengan Jemaat. Pada akhirnya, seluruh umat manusia akan menjadi “keturunan ilahi” yang akan tinggal selamanya di dalam keluarga Allah.

Tetapi sangat disayangkan bahwa karena kedegilan hati orang atau luka akibat dosa, akan ada pernikahan yang tidak bertahan dan selamat. Namun demikian, untuk suatu pernikahan, jalur perceraian sebaiknya ditempuh sebagai pilihan terakhir. 

Ketika pasangan suami istri menghadapi masalah pernikahan, pelayanan Church of God, a Worldwide Association, berkomitmen untuk menolong mereka agar bisa menggunakan prinsip-prinsip Alkitab untuk menyelamatkan pernikahan mereka. Sementara itu, untuk hal-hal yang menyangkut pernikahan, anda boleh baca artikel kami yang berjudul “Masalah Pernikahan” dan “Bagaimana Menyelamatkan Pernikahan Anda.” 

Jika anda dan pasangan anda memiliki komitmen untuk belajar dan mempraktekkan ajaran Allah tentang pernikahan, besar kemungkinannya pernikahan anda akan bertahan dan subur! Untuk informasi lebih lanjut tentang situasi pernikahan pribadi anda, jangan ragu-ragu untuk menghubungi salah satu dari pelayan jemaat kami di http://lifehopeandtruth.com/contact/.

Apakah anda punya pertanyaan?
Ajukanlah kepada kami.

 

This article was translated from http://lifehopeandtruth.com

Tracker Pixel for Entry